KOLABORASI HINDHU-ISLAM
tentu kita semua pernah mendengar dan ada pula yg ikut acara tahlilan selama 7 hari berturut-turut setelah ada orang meninggal, kebudayaan ini dimulai dari adat hindhu dulu, namun islam masuk ke indonesia tentu harus disesuaikan dg adat setempat makanya sampai sekarang ttp berlangsung demikian.
arti mati menurut kepercayaan itu berbeda-beda tapi tujuanya tetap sama yaitu kembali ke alam yang satu, kebudayaan spiritual berkembang dari animisme dinamisme dan muncullah nabi muhammad sebagai penyempurna agama terdahulu.
orang yang selalu ingat mati, mengibaratkan hidup di dunia ini sebagai kendaraan yang sangat cepat sekali, dan ingat mati sebagai remnya, Dan orang yang selalu ingat mati tentu akan terlihat sifat-sifat:
1, Cepat-cepat bertobat (banyak membaca istighfar)
2. Merasa cukup dengan apa yang ada tidak rakus terhadap dunia
3. Rajin beribadah kepoada Allah.
Rasulullah bersabda:
“Kematian itu bagaikan pintu gerbang, semua manusia tentu akan memasukinya”.
Bagaimanakah untuk menyampaikan pesan di atas kepada masyarakat Jawa yang belum mengenal Islam dan memiliki prinsip dalam pendidikan bahwa, pukulan untuk anak kecil (anak kecil perlu pendidikan yang membutuhkan sedikit otoriter), tutur untuk pemuda,(pemuda dengan musyawaroh) dan senyuman para orang tua (orang tua dengan bukti nyata orang tua akan mengetahui arti sebuah senyuman, senyum mencibir atau senyum bangga), dan itupun seuai dengan hadits nabi yang karang lebih: “Jika engkau melihat kemungkaran maka rubah dengan tanganmu, jika tidak mampu dengan lisanmu, dan jika tidak mampu dengan do’a”. Mengingat hal tersebut di atas para pendahulu kita (Wali Songo), mengambil moment yang sudah biasa dilakukan masyarakat ketika kematian itu datang, yaitu acara. 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, pendak 1 ( 1tahun), pendak pindho (2 tahun), dan 1000 hari.
Peringatan 1 Hari (sur bumi/sur tanah)
Satu dalam bahasa Jawa adlah siji atau setunggal. Manusia terlahir di sunia ini karena bersatu wiji (bibit dari ayah dan ibu) berkembang menjadi keluarga, berkembang menjadi masyarakat, itu semua buah dari bersatunya kasih dan saying dari seorang ayah dan ibu. Dan secara naluriah manusia diberikan rasa kasih saying antara sesame manusia, lebih-lebih kepada saudara yang masih dekat seklai hubungan darahnya. Seperti kasih saying orang tua dan anak, kakek dengan cucu, atau kakak dan adik. Dan kasih sayasng itu akan terputus jika ajal menjemput salah satu dariny. Betapa sedih keluarga yang ditinggal oleh al-marhum, sebab kemarin masih menjadi satu (setunggal) harus mengahadapi kenyataan bahwa almarhum harus pindah bumi (sur bumi), atau pindah tanahnya (sur tanah), Dan untuk menghibur keluarga yang ditinggal maka dihiburlah dengan silaturrahim, majlis dzikir, dan shodaqoh.
Setiap ada peristiwa kematian masyarakat Jawa tentu akan mempersiapkan peralatan, bunga Mawar, Kenanga, Kanthil, Melati, layaknya orang yang akan melakukan sesajen. Tujuan dari mempersiapakan bunga menurut orang-orang yang mempercayai bahwa arwah setelah meninggal masih berhubungan dengan keluarga yang masih hidup oleh sebab itu merekapun membawakan kiriman berupa bunga. Kitapun masyarakat muslim yang menganut faham ahlussunnah juga mempunyai kepercayaan bahwa orang yang telah meninggal masih bisa menerima kiriman do’a, amal perbuatan baik berupa shodaqoh, haji dan amal-amal lainnya. Sedangkan bunga dari kiriman itu bila kita maknai akan berbunyi : Mawarno-warno kaindahaning tindak-tanduke mayit kenengno lan kanthilno ing ati lan tindakno sakbisa-bisamu supoyo ora malati (Berbagai macam kebaikan /jasa almarhum masukan dalam hatimu agar menghujam sampai dalam, kenang dan catat dalam hatimu lan laksanakan sekuat-kuatmu agar kamu tidak mendapat bilahi/tuah).
Dari sini kita bisa memetik pelajaran bahwa bekal kita untuk menghadapi kematian adalah bunga kehidupan/amal perbuatan kita semasa hidup. Bunga kehidupan haruslah berdasarkan tuntunan syari’at yang dibawa oleh Junjungan kita Nabi Muhammad SAW, ke bawah sampai dengan ulama-ulama sekarang karena kita sudah tidak bertemu langsung dengan junjungan kita Nabi Muhammad SAW.
Apabila kita ingat bahwa apa yang akan menjadi bekal ketika kita naik/meninggal tentu kita akan banyak mendekat pada para ulama untuk mendapatkan petunjuk menghadapi kematian dan agar kita tidak salah membawa bekal menghadap kepada Sang Khaliq.
Dan tak lupa denagn membakar Menyan (Kemenyan), menyan adalah ibarat dari mizan, karena orang yang meninggal sudah terputus amalnya diibartakan seperti terbakarnya menyan.
3 Hari
Kita telah maklum dengan hitungan deret setelah angka satu tentu angka dua (loro atau kalih: Jawa ), setelah itu baru tiga (tiga:Jawa).
Berapa waktu kita berkumpul dengan orang kita sayangi akan sangat membekas sekali dalam hati, kita akan rela untuk melakaukan apapun demi untuk menyenangkan orang yang kita kasihi. Namun orang yang kita sayangi itu pindah (kaelih: Jw), maka hati kita akan sakit sekali(lara: Jw), namun jika pindahnya iitu karena ajal kita harus rela dan ikhlash(tega/tiga:Jw) melepaskan dan merima taqdir dari yang Maha Kuasa. Sebab apapun usaha kita tidak akan bisa mengelak dari taqdirNya.
Dengan berkumpul dan membaca do’a serta makan bersama-sama akan menimbulkan rasa ikhlash untuk melepas kerabat yang pergi meninggalkan kita, dan orang yang ditinggal juga timbul perasaan bahwa meskipun telah pergi salah satu keluarganya namun masih tertinggal banyak saudara yang lain.
7 Hari
Tujuh dalam bahasa jawa adalah pitu. Setalah bisa meng-ikhlaskan (tega) kepergian snak saudara meninggalkannya, maka mudah-mudahan kepergianya itu biasa menjadi pitu-tur (petuah./ nasehat), pitu-duh(petunjuk), dan mendapatkan pitu-lungan(pertolongan).
Sebaik-baiknya nasehat adalah kematian, sebab sengan mengingat mati kita akan mengetahui hakikat dan tujuan hidup di dunia ini.
40 Hari
Empat puluh dalam bahasa Jawa patang puluh. Kalau sudah mendapatkan nasehat, petuntuk dan pertolongan dalam mengarungi kehidupan ini tentu kita diharapkan tidak akan membuang secara percuma air mata atau dapat membendung air mata (pet luhe:Jw), untuk hal-hal sepele. Air mata hanya kita teteskan jika kita tidak dapat menjalan perintah dan melanggar apa yang menjadi larangan-Nya. Bukan untuk menagisi kepergian salah satu sanak keluarga.
100 Hari
Seratus dalam bahasa Jawa satus, setalah dapat membendung air mata maka air mata akan menjadis habis tak tersisa (sat lan atus: Jw), dan benar-benar tidak akan menititik air mata jika mengingat kepergian sanak saudara yang telah menggal dunia. Ataukah tetap akan menjadi keras (atos) hati kita tidak mau menerima nasehat, petunjuk, dan pertolongan untuk berjalan di rel-Nya, dalam arti kita tetap menjadi orang yang masa bodoh dengan kehidupan ini.
1 tahun, 2 tahun
Peringatan atau haul sanak saudra yang telah pergi tiap tahun dalam tradisi Jawa dikenal dengan pendak siji (satu tahun), pendak pindo (dua tahun). Pendak sepadan dengan kata mundak yang berarti dengan meninggalnya salah sanak keluarga diharapkan yang ditinggal bertambah (mundhak) rasa taqwanya kepada Allah SWT.
1000 hari
Seribu dalam bahasa Jawa adalah sewu, dan orang Jawa menggunakan bilangan seribu ini untuk mengungkapkan betapa besarnya dan banyaknya sesuatu, contohnya: Milyader atau orang kaya disebutnya dengan brewu, banyak sekali tidak terhitung akan disebu ma- ewu-ewu. Dengan kepergian sanak saudara diharapkan agar yang ditunggal benar-benar menjadi orang kaya hatinya.
Mudah-mudahan dengan Syafa’at Junjungan kita Nabi Muhammad dan berkah dari para kekasih-Nya kita dimasukkan dalam hadits nabi: “Bila maikat maut mendatangi seorang wali Allah, maka ia bersalam kepadanya dan berkata,”Keselamatan semoga tercurah untukmu wahai waliyullah, Bangkit dan keluarlah dari tempat yang kau binasakan menuju tempat yang kau ramaikan”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar