Kamis, 11 Agustus 2011

SULUK LINGLUNG SUNAN KALIJOGO

Kumbang Menghisap Madu 
 
SUNAN Kalijaga berhasrat besar mencari ilmu yang menjadi pegangan para Nabi dan Wali, ibaratnya kumbang ingin menghisap madu/sari kembang.
Mendapat gelar agung sebagai guru suci Tanah Jawi. Raden Mas Sahid putra kanjeg Adipati Tuban, sudah menjadi alim ulama yang cerdik dan pandai. Bahkan beliau sudah dapat merasakan mati di dalam hidup. Tingkatan pendakian tauhid yang sangat tinggi, dan patut diacungi jempol. Namun beliu belum puas dengan apa yang sudah didapat. Dia mempunyai himatulaliyyah atau cita-cita yang tinggi yaitu bertujuan ingin memperoleh petunjuk dari seseorang yang sudah menemukan hakikat kehidupan, yang nantinya dapat mengantarkanya agar mendapat petunjuk yang dipegang para Nabi Wali atau Imam Hidayah.
Tekadnya semakin membaja, menyebabkan beliau melakukan perjalanan hidup yang tidak mempedulikan dampak atau akibat apapun yang akan terjadi, nafsunya menuntut ilmu semakin membara tak perduli samudra api menghadang. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Tuntutlah ilmu biarpun harus menyeberang samudra api!”.
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid hatinya bimbang dan pikirannya bingung. Siapa yang tidak bingung! Segala ilmu yang diketahui dan dipahami diamalkan dengan penuh pengabdian kepada Allah, namun beliau merasa selalu tergoda oleh nafsunya, dan merasa tidak mampu mengatasinya. Berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi nafsunya, jangan sampai terlanjur terlantur, hanya puas makan dan tidur. Namun tetap saja dirinya merasa hatinya kalah perang dengan nafsunya. Akhirnya beliu pasrah kepada Allah tempat berserah diri.
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid memohon kepada Allah Tuhan Yang Terpilih, semoga dibukakan oleh Tuhan Pembuat Nyawa, agar istiqomah hatinya, selaras dengan kehendak hatinya, jalan menuju sembah dan puji. Dan tiada putus-putusnya dia berdoa, biarpun terselip kekhawatiran dosa dan kekhilafan yang pernah dilakukannya semasa muda, mungkin tak termaafkan oleh Gusti Allah. Sekian lama beliau berdoa, namun tak ada tanda-tanda terkabulnya doa. Akhirnya beliau mawas diri. Mengapa petunjuk yang ditunggu-tunggu belum juga datang? Apakah caranya beribadah dan bersyukur yang salah? Apakah yang dilakukan selama ini acak-acakan tanpa dasar ilmu yaqin?
Ling lang ling lung, akhirnya Raden Mas Sahid diam tak mau berdoa lagi. Beliu menyendiri dan menjauhi urusan duniawi (uzlah). Buak dari laku ini, dirasanya masih saja ada gejolak batin, saling bertengkar dua sura dalam batingnya sendiri, bisikan Malaikat dan bisikan Syaitan. Pertentangan suaranya tidak lantang sebagaimana layaknya orang bertengkar, tetapi pertengkaran hebat itu tidak kunjung berhenti! Bukankah bisikan baik dan buruk saling merebut kemenangan? Apa sih yang diperebutkan? Padahal tidak ada yang diperebutkan! Perang batin ini, kalau diibaratkan seperti perebutan Kerajaan Ngastina oleh Kurawa dan Pandawa yang masih termasuk keluarga sendiri atau darah daging sendiri!
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid menyadari laku uzlah yang dijalankannya tak menghasilkan petunjuk yang diharapkan. Akhirnya tanpa malu-malu, karena didesak oleh hasrat mengetahui petunjuk, beliau berusaha bertapa berlapar-lapar, kalau ada teman datang, ikut makan dengan rakusnya, kalau temannya pergi tidak makan seumur hidupnya, sebab tidak ada yang dimakan. Ling lang ling lung, menuruti kesenangan memperindah diri, selalu meminta upah.
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid meminta upah dari laku bertapa berlapar-lapar ternyata tiada hasil. Beliau akhirnya menyadari kebodohannya dan tersemyun sendiri. Mengapa sampai teganya Dia menagih tak henti-hentinya kepada Allah, padahal tanpa piutang? Gusti Allah yang ditagih wajar kalau diam saja, memang kenyataanya tidak berhutang! Biarpun yang menagih datang dan pergi, semua itu tidak ada bedanya, dan Allah Yang Maha Karya berhak tidak melunasi karena tidak pernah berhutang kepada Raden Mas Sahid. Akhirnya beliu memutuskan diri untuk berguru dengan Kanjeng Sunan Bonang, barangkali dengan itu, beliu dapat petunjuk iman hidayah.
Mulailah Raden Mas Sahid berguru kepada seseorang yang tinggi ilmunya yang bersunyi diri di Desa Bonang yang bergelar Kanjeng Sunan Bonang. Beliu mohon kepada Kanjeng Sunan Bonang untuk ditunjukkan hakikat kehidupan. Syekh Malaya disaat mulai berguru kepada Kanjeng Sunan Bonang diperintah bertapa menunggu pohon gurda dan dilarang meninggalkan tempat.
Ling lang ling lung, Syekh Malaya dapat dikatakan orang hebat, karena keinginanya yang kuat serta tekad batinnya, tak dapat dibandingkan dengan yang lainnya. Maklumlah beliu berdarah luhur, putra Kanjeng Adipati Tuban Wilwatikta II bernama Raden Mas Sahid, waktu tua bergelar Sunan Kalijaga. Rupanya sudah terlebih dahulu mendapat anugrah Kasih Sayang Gusti Allah Pencipta Nyawa yang sudah menjadi kemulian Tuhan Yang terpilih, timbul dari kasih Sayang Allah...(Mahabbatullah)....
Rindu Kasih Sayang

" Syekh Malaya berguru menuntut ilmu sudah cukup lama, namun merasa belum dapat manfaat yang nyata, rasanya Cuma penderitaan yang didapat, sebab disuruh memperbanyak bertapa, oleh Kanjeng Sunan Bonang, diperintah “menunggui pohon gurda” yang berada ditengah hutan belantara dan tidak boleh meninggalkan tempat, sudah dilaksanakan selama setahun.

Laku tapa yang kedua, disuruh “ngaluwat” yaitu ditanam di tengah hutan. Setelah setahun kemudian dibongkar oleh Kanjeng Sunan Bonang. Kemudian diperintahkan pindah, Tafakur (berzikir) di tepi sungai yg nantinya beralih menjadi nama sebutannya (Kalijaga = menjaga sungai) selama setahun, dan tidak boleh tidur ataupun makan, lalu ditinggal ke Mekah oleh Kanjeng Sunan Bonang.
Nyatanya sudah genap setahun, Syekh Malaya ditengok, ditemui masih tafakur saja, Kanjeng Sunan bonang bersabda, “wahai siswaku sudahilah tarak bratamu, kamu mulai sekarang sudah menjadi Wali dan bergelar Sunan Kalijaga. Kamu diangkat sebagai wali Sembilan penutup maksudnya melengkapi Wali Sanga atau Wali Sembilan yang saat itu jumlah kurang satu wali. Tugasmu ikut menyiarkan agama Islam dan perbaikilah ketidakaturan yang ada. Agama itu tata krama, kesopanan untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Kau harus berpegang pada syariat Islam, serta segala ketentuan iman hidayah. Hidayah itu dari Gusti Allah Yang Maha Agung, yang sangat besar kanugrahan-Nya menumbuhkan kekuatan luar biasa dan keberanian, serta meliputi segala kebutuhan perang, yang demikian itu tidak lain adalah anugrah yang besar, paling utama dari segala yang utama (keutamaan). Keutamaan ibarat bayi, siapapun ingin memelihara, yang mencukupi bayi, menguasai pula terhadap dirimu, tapi kamu tak punya hak menentukan, karena kau ini juga yang menentukan Gusti Allah Yang Maha Agung, karena itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri pada-Nya”.Syekh Malaya berkata lemah lembut kepada Kanjeng Sunan Bonang, “sungguh hamba sangat berterima kasih, semua nasihat akan kami junjung tinggi, tapi hamba memohon pada guru, mohon agar sekalian dijelaskan, tentang maksud sebenarnya dari sukma luhur atau ruh yang berderajat tinggi, yang sering disebut iman hidayah. Hamba harus mantap berserah diri kepada Gusti Allah, bagaimanakah cara melaksanakan dengan sebenar-benarnya? Hamba mohon penjelasan yang sejelas-jelasnya. Kalau hanya sekedar ucapan semata hamba pun mampu mengucapkannya. Hamba takut kalau menemui kesalahan dalam berserah diri, karena menjadikan hamba ibarat asap belaka, tanpa guna menjalankan semua yang kukerjakan.
Kanjeng Sunan Bonang menjawab lembut, “Syekh Malaya benar ucapanmu, pada saat bertapa kau bertemu denganku, yang dimaksud berserah diri ialah selalu ingat perilaku atau pekerjaan, seperti ketika awal mula diciptakan, bukankah itu sama halnya seperti asap? Itu tadi seperti hidayah wening atau petunjuk yang jernih, serupa dengan iman hidayah, apakah itu nampak dengan sebenarnya? Namun ketahuilah semua tidak dapat diduga sebelum mempunyai kepandaian untuk meraihnya, kejelasan tentang hidayah, hanya keterangan yang saya percayai, karena keterangan itu berasal dari sabda Gusti Allah”.
Berkata Kanjeng Sunan Kalijaga, “ Bapak Guru yang bijaksana, hamba mohon dijelaskan, apakah maksudnya, ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa nama? Saya mohon petunjuk, tinggal itu yang saya tanyakan yang terakhir kali ini saja”. Kanjeng Sunan Bonang bersabda lemah lembut, “Kalau kamu ingin keterangan yang jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri, belajarlah kamu tentang mati, selagi kau masih hidup. Caranya bersepi dirilah kamu ke hutan rimba, dan jangan sampai ketahuan manusia”.
Sudah habis segala penjelasan yang disampaikan Kanjeng Sunan Bonang segera meninggalkan tempat, dari hadapan Sunan Kalijaga, timur laut arah langkah yang dituju. Kira-kira baru beberapa langkah berlalu, Syekh Malaya ikut meninggalkan tempat itu, masuk kehutan belantara.
Raden Mas Sahid menjalankan laku kijang, berbaur dengan kijang menjangan, segala gerak laku kijang ditirunya, kecuali bila ingin tidur, ia mengikuti cara tidur berbalik, tidak seperti tidurnya kijang. Kalau pergi mencari makan mengikuti seperti caranya anak kijang. Bila ada manusia yang mengetahui, para kijang berlari tunggal langgang, Sunan Kalijaga juga ikut berlari kencang jangan sampai ketahuan manusia. Larinya dengan merangkak, seperti larinya kijang, pontang panting jangan sampai ketinggalan, mengikuti sepak terjang kijang.
Nyata sudah cukup setahun, Syekh Malaya menjalani laku kijang, bahkan melebihi yang telah ditetapkan, ketika itu Kanjeng Sunan Bonang, bermaksud sholat ke Mekah, dalam sekejap mata sudah sampai, setelah sholat segera datang kembali. Kanjeng Sunan Bonang menuju hutan untuk memberi tahu Syekh Malaya bahwa laku kijangnya telah selesai. Sesampai di dalam hutan ia melihat kijang sama berlari, sedang anaknya sempoyongan mengikuti. Sunan Bonang ingat dalam hati, kalau Wali Syekh Malaya berlaku seperti anak kijang, segera ia mendekati gerombolan kijang, barangkali di sana ditemukan Syekh Malaya.
Syekh Malaya yang kebetulan sedang berlaku meniru kijang tahu akan didekati gurunya. Beliau ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia, gurunya juga manusia maka ia harus menghindari jangan sampai didekati manusia biarpun oleh gurunya, larinya tunggang langgang, tanpa memperhitungkan jurang tebing, ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan diberi jerat, kalau kena jerat dapat lolos, kalau kena jaring dapat melompati.
Marahlah sang guru Kanjeng Sunan Bonang, bersumpah dalam hatinya, “Wali wadat pun aku tak peduli, memanaskan hati kau kijang, bagiku memegang angin yang lebih lembut saja tidak pernah lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan gagal! Kalau tidak berhasil sekali ini, lebih baik aku tidak usah menjadi manusia, lebih pantas kalau jadi binatang saja!”.
Kanjeng Sunan Bonang bergerak dengan penuh amarah. Beliau berusaha menciptakan nasi tiga kepal telah disiapkan, dan segera ia mundur siap melempar Kijang.
Pupuh Durma

" Kanjeng Sunan Bonang segera menerobos ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati, setelah benar-benar menemukan yang sedang laku kijang, tengah berlari. Segera dilemparnya dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.
Syekh Malaya agak lambat larinya terkena lemparan nasi sekepal. Lalu lemparan yang kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk Syekh Malaya kemudian dilempar lagi, nasi satu kepal, Syekh Malaya ingat dan sadar kemudian berbakti pada Sunan Bonang.
Syekh Malaya berlutut hormat mencium kaki Sunan Bonang. Berkata sang guru Sunan Bonang “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapat kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah dengan hati tulus suci dan ikhlas. Ambillah air zam-zam ke Mekah, itu adalah air yang suci, serta sekaligus mengaharapkan berkah syafaat, Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia”. Syekh Malaya berbakti, mencium kaki gurunya dan mohon diri untuk melaksanakan tugas yaitu segera menuju Mekah. Kanjeng Sunan Bonang lebih dahulu melangkahkan kaki menuju desa Bonang yang sepi. Dan selanjutnya kita ikuti, perjalanan Syeh Melaya yang berkehendak naik haji menuju Mekah, dia menempuh jalan pintas.
Syekh Malaya menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, tetebingan di dakinya memutar, melintasi jurang dan tanjakan. Tanpa terasa perjalanannya telah sampai di tepi pantai. Hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya karena terhalang oleh samudera luas, sejauh memandang tampak air semata. Dia diam tercenung lama sekali di tepi samodera memutar otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh.
Syahdan tersebutlah seorang manusia, yang bernama Sang Pajuningrat, mengetahui kedatangan seorang yang tengah bingung yaitu Syekh Malaya. Sang Mahyuningrat tahu segala perjalanan yang dialami oleh Syekh Malaya dengan sejuta keprihatinan karena ingin meraih iman hidayah. Berbagai cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayah, kecuali kalau mendapatkan kanugrahan Allah yang haq.
Syekh Malaya ternyata sudah terjun merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri. Semakin lama Syekh Malaya sudah hampir sampai tengah samudra, mengikuti jalan untuk mencapai hakikat yang tertinggi dari Allah, tidak sampai lama, sampailah di tengah samudra. Beliau kehabisan tenaga untuk merenangi samudra menuju Mekah. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada ia berusaha mempertahankan diri jangan sampai tenggelam di dasar laut. Yang tampak kini. Syekh Malaya timbul-tenggelam di permukaan laut berjuang menyelamatkan nyawanya.
Ternyata disaat Syekh Malaya dalam keadaan yang kritis itu berjuang antara hidup dan mati, tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang yang sedang berjalan di atas air dengan tenangnya, yang tidak dari mana datangnya. Seketika itu pula, tahu-tahu Syekh Malaya sudah dapat duduk tenang diatas air.
Orang yang mendekati Syekh Malaya tidak lain adalah Nabi Khidir yang menyapa Syekh Malaya dengan lemah lembut, “Syekh Malaya apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Ketahuilah di sini tidak ada apa-apa! Tidak ada yang dapat dibuktikan, apalagi untuk dimakan dan berpakaian pun tidak ada. Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup yang jatuh di depanku, itu yang saya makan, kalau tidak ada tentu tidak makan. Senangkah kamu melihat kenyataan semua itu?”.
Sunan Kalijaga heran mengetahui penjelasan ini. Nabi Khidir berkata lagi kepada Sunan Kalijaga, “Cucuku, di sini ini banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini. Di tempat ini segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya. Mengandalkan pikiranmu saja belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini kau tidak mungkin mendapat apa yang kau maksudkan!”.
Syekh Malaya bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab pertanyaan Nabi Khidir, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh setelah ini. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian! “Syekh Malaya pasrah diri kepada Nabi Khidir , katanya "Terserah bagaimana baiknya menurut Guru”. Sang guru Nabi Khidir menebak, “Apakah kamu juga sangat mengharapkan hidayatullah Allah?”.
Akhirnya Kanjeng Nabi Khidir menjelaskan, “ikutilah petunjukku sekarang ini!” “Kamu telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu Sunan Bonang yang menyuruhmu menuju kota Mekah, dengan keperluan naik haji. Maka ketahuilah olehmu, makna tugas itu yaitu : sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan ini”.
“Jangan pergi kalau belum tahu yang kau tuju dan jangan makan kalau belum tahu rasanya yang dimakan, jangan berpakaian kalau belum tahu kegunaan berpakaian. Lebih jelasnya tanyalah sesama manusia sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah jelas amalkanlah!”.
“Demikianlah seharusnya hidup itu, ibarat ada orang dari gunung, akan membeli emas, oleh tukang emas biarpun diberi kuningan tetap dianggap emas mulia. Demikianlah pula dengan orang berbakti, bila belum yakin benar, pada siapakah yang harus disembah?” Syekh Malaya ketika mendengar itu, spontan duduk berlutut mohon belas kasihan, setelah mendapati kenyataan Nabi Khidir betul-betul serba tahu yang tersimpan di hatinya. Dengan duduk bersila dia berkata, “Yang kami dengar akan kami laksanakan apa pun jadinya nanti. “Syekh Malaya meminta kasih sayang, memohon keterangan yang jelas’, siapakah nama tuan? Mengapa di sini sendirian? Sang Pajuningrat menjawab, “sesungguhnya saya ini Nabi Khidir”.
Syekh Malaya berkata, “saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu dikasihani, saya juga tidak tahu benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku ini. Dapat dikatakan lebih bodoh dan dungu serta tercela ibarat keris tanpa kerangka dan ibarat bacaan tanpa isi tersirat”.
Maka berkata dengan manisnya Sang Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga...
Sang Nabi Khidir

"Jika kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya menuju ke Mekah itu. Ketahuilah mekah itu hanya tapak tilas saja! Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung di dinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja wujud Allah yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhalanya. Oleh karenanya itu, biarpun kamu sudah naik haji, bila belum tahu tujuanya yang sebenernya dari ibadah haji tentu kamu akan rugi besar. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Ka’bahtullah (Ka’bah Allah). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati”.
Nabi Khidir memerintah, “Syekh Malaya segeralah kemari secepatnya! Masuk ke dalam tubuhku!” Syekh Malaya terhenyak hatinya tak dapat dicegah lagi, keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya berkata halu. “Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya tinggi besar melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah usaha saya untuk masuk? Padahal nampak olehku buntu semua?.
Nabi Khidir berkata dengan lemah lembut. “Besarmana kamu dengan bumi, semua ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung tidak bakal penuh bila dimasukkan kedalam tubuhku, jangan khawatir bila tak cukup masuklah di dalam tubuhku ini. Syekh Malaya setelah mendengarnya semakin takut sekali dan bersedia melaksanakan tugas memasuki badan Nabi Khidir, namun bingung tak tahu cara melaksanakannya. Menolehlah Nabi Khidir, ini jalan di telingaku ini”.Syekh Malaya masuk dengan segera melalui telinga Nabi Khidir. Sesampainya di dalam tubuh Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat samudera luas tiada bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati semakin jauh tampaknya. Nabi Khidir bertanya keras-keras, “hai apa yang kamu lihat?”
Syekh Malaya segera menjawab, “Angkasa Raya yang kuamati, kosong melompong jauh tidak kelihatan apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan barat timur pun tidak kami kenal lagi, bawah dan atas serta muka belakan, tidak mampu saya bedakan. Bahkan semakin membingungkanku”.
Nabi Khidir berkata lemah-lembut, “usahakan jangan sampai bingung hatimu”. Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang. Dihadapannya nampak Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat Nabi Khidir malayang di udara kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu Syekh Malaya melihat arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah juga sudah terlihat dan mampu menjaringf matahari, tenang rasanya sebab melihat Nabi Khidir, rasanya berada di alam yang lain dari yang lain.
Nabi Khidir berkata lembut, “jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah dengan sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu”. Syekh Malaya menjawab, “Ada warna empat macam yang nampak padaku semua itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya empat macam yang kuingat yaitu hitam merah kuning dan putih”.
Berkata Nabi Khidir, “yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak tahu namanya ketahuilah itu adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di dalam dirimu sendiri yang mengatur dirimu. Pancamaya yang indah itu disebut mukasyafah, bila mana kamu mampu membimbing dirimu ke dalam sifat terpuji, yaitu sifat yang asli. Maka dari itu jangan asal bertindak, selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu nafsu. Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri!” Tentramlah hati Syekh Malaya, setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa hatinya serta gembira. Nabi Khidir melanjutkan penjelasannya, “adapun yang kuning, merah, hitam serta putih itu adalah penghalanya. Sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi kedalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku, kalau mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan kuning, semua itu menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya. Maksudnya akan menghalangi menyatunya hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia. Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, maksudnya orang akan mencapai tingkatan Maqom Fana dan akan masuk Maqom Baqo atau abadi. Maksudnya senantiasa berdekatan rapat dengan Sang Pencipta. Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa penghalang yang ada dalam dihati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan sekaligus sumber inti kekuatannya. Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah, mudah sakit hati, angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang menghalangi, menutup kepada kebajikan.
Sedangkan yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam mencapai tujuan, hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju akhir hidup yang baik (khusnul khatimah). Adapun yang berwarna kuning, kemampuannya mengahalangi segala hal, pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik. Hati kuninglah yang menghalangi timbulnya pikiran yang baik hanya membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini itu, pahlawan dalam kedamaian”.
Nabi Khidir memberi kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan penjelasannya tadi. Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah yang dapat dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Tuhan, maka senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan tinggi hati (bohong). Ketiga musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat dikalahkan. Kalau sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang timbul dari tiga hala itu, maka terjadilah persatuan erat wujud, tanpa berpedoman itu semua tidak akan terjadi persatuan eret antara manusia dan Penciptanya”. Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi kesempurnaan dekatnya dengan Allah SWT.
Nabi Khidir kembali melanjutkan wejanganya, “Setelah hilang empat macam warna ada hal lain lagi nyala satu delapan warnanya”. Syekh Malaya berkata, “Apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya semakin jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah warna menyambar-nyambar, ada yang seperti permata yang berkilau tajam sinarnya”.
Sang Nabi Khidir berpesan, “Nah, itulah sesungguhnya tunggal. Pada dirimu sendiri sudah tercakup makna di dalamnya, rahasianya terdapat pada dirimu juga, serta seluruh isi bumi tergambar pada tubuhmu dan juga seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara, barat, selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna hitam, merah, kuning dan putih itulah isi kehidupan dunia. Didunia kecil dan alam semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau ditimbang dengan yang ada dalam dirimu dalam dirimu ini, kalau hilang warna yang ada, dunia kelihatan kosong kesulitannya tidak ada, dikumpulkan kepada wujud rupa yang satu, tidak lelaki tidak pula perempuan. Sama pula dengan bentuk yang ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah putih. Camkanlah dengan cermat semua itu”. Syekh Malaya mengamati, “yang seperti cahaya berganti-ganti kuning, cahayanya terang benderang memancar, melingkar mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat yang dicari dan didambakan? Yang merupakan hakikat wujud sejati?”
Khidir menjawab dengan lemah lembut, “itu bukan yang kau dambakan, yang dapat menguasai segala keaadaan. Yang kamu dambakan tidak dapat kamu lihat, tiada bentuk apalagi berwarna, tidak berwujud garis, tidak dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal hanya dapat dirasakan oleh orang yang awas mata hatinya, hanya berupa pengambaran-pengambaran (simbol) yang memenuhi jagad raya, dipegang tidak dapat. Bila itu yang kamu lihat, yang nampak seperti berubah-ubah putih, yang terang benderang sinarnya, memancarkan sinar yang menyala-nyala. Sang Permana itulah sebutannya.
Hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirmu sendiri, tetapi tidak merasakan suka dan duka, tempat tinggalnya pada ragamu. Tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut sakit dan menderita jika Sang Permana meninggalkan tempatnya, raga menjdi tak berdaya dan pastilah lemahlah seluruh badanmu, sebab itulah letak kekuatannya, ikut merasakan kehidupan, yang mengerti rahasia di dunia. Dan itulah yang sedang mengenai pada dirimu, seperti diibaratkan pula pada hewan, yang tumbuh di sekitar raga.
Hidupnya karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan, mengusai seluruh badan. Permana itu bila mati ikut menanggung, namun bila bila telah hilang nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma atau nyawa yang ada.
Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, sang Permana yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.
Menjawablah Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?
”Nabi Khidir berkata, “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya”, Syekh Malaya menyela pembicaraan. “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham betul, sampai tuntas. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan yang pasti, jangan sampai tanpa hasil...”.
Pupuh Kinanthi.

Nabi Khidir berkata lembut dan manis yang isinya bercampur perlambang dan sindiran, “Umpamanya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya seharusnya baik, nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang bercampur dengan rahasia yang terasa sebagai jiwa suci.
Nubuwah yang penuh rahasia itu sebenarnya rahasia ini. Yaitu ketika masih berada di sifat jamal ialah jauhar awal. Bila sudah keluar menjadi jauhar akhir yang sudah dewasa, yang awal itulah rahasia sejati.
Si jauhar akhir itu ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan jauhar, ketika dalam kesatuan satu wujud, satu raksa, satu hidup menyatu dengan johar awal. Adapun johar akhir ialah ;
Satu wujud dalam keadaan sehidup semati segala ulah jauhar akhir selamanya bersikap pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji dan disembah hanyalah Allah yang sejati.
Tidak ada sama sekali rasa sakit karena sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika di masa awal atau kuna, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan nukad itu, tidak lain ghaib jugalah namanya itu.
Setelah datangnya nukad itu, yang sudah hidup sejak dulu, dicipta menjadi Alif. Alif itu sendiri jisim latif. Dan keberadaanmu yang sebenarnya itulah yang disebut atau dinamakan neqdu”.
Sekarang jauhar sejati, yaitu namamu itu semasa hidup ialah syahadat jati. Dalam hidup dan kehidupanmu disebut juga darah hidup. Darah hidup itu sendiri ialah yang dinamakan Rasulullah rasa sejati.
Syahadat jati adalah darah, tempat segala Dzat atau makhluk merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan kehidupan. Yang sama dengan satuan Jibril-Muhammad-Allah. Sedangkan keempatnya adalah yang disebut darah hidup. Jelasnya coba perhatikan orang mati!
Apa ada daranya? Darah itu kini hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan sukma. Sukma atau ruh hilang dan kembali pada Alif itu disebut Ruh Idhafi.
Pengertian jisim Latif ialah Jisim Angling yang sudah ada terdahulu kala yaitu Alif yang disebut Angling. Padahal alif itu tanpa mata, tidak berkata-kata dan tidak mendengar
Tanpa perilaku dan tidak melihat. Dan itulah Alif, yang arti sebenarnya luqkawi. Alif jatuh/bertempat/berada pada nuqadnya. ketiadaannya keberadaannya menjadi Alif itu karena dijabarkan atau dikembangkang. Bukankah ruh Idhafi itu bagian Dzatullah”?.
Setelah diajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang Ruh Idhafi yang menjadi inti pembahasannya. Adapun wujud sesungguhnya alif itu, asal muasalnya berasal dari jauhar alif itu. Yang dinamakan Kalam Karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah untuk menjadikan terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya. Allah tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri!
Adapun sifat jamal (sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya itu, karena adanya yang mewujudkan keberadannya”.
Kanjeng Nabi Khidir menandaskan penjelsannya, “Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya
"Kalau tidak ada dirimu, Saya (Allah) tidak akan dikenal atau disebut. Hanya dengan sebab adanya kamulah yang menyebut akan keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku (Allah), menjadikan ada dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku.
Dan untuk memperjelas jati dirmu, tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik itu semua kau maksudkan untuk memudahkan pengambaran perwujudan tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berbeda dengan dirimu, yang tak mungkin dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan setepat-tepatnya.
"Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku yang baik (Asmaul Husna); “Apakah kamu sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? Baik di dunia maupun di akhirat? Kamu ini merupakan penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah. Ya Illahi, ya Allah ya Tuhanku…(Bagi pembaca maupun pendengar dianjurkan untuk berdo'a pada Allah. Insya Allah berhasil kabul apa yang dinginkan. Amin, amin, amin ya Rabbal 'alamin).
Nabi Khidir mengakhiri pembacaan Firman Allah SWT, kemudian melanjutkan memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga, “Tanda-tanda adanya Allah itu, ada pada dirimu sendiri harap direnungkan dan diingat betul. Asal mula Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah selagi hidup, Budi Jati sebutannya. Yang tidak terasa, menimbulkan budi atau usaha untuk mengatasi lika-liku kehidupan.
Bagi orang yang senang membicarakan dan memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan. Sedang yang dimaksudkan dengan jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui maksud dan budi iman yaitu menjalankan segala tingkah laku dengan didasari keimanan kepada Allah. Alif tercipka karena sudah menjadi ketentuan yang sudah digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan apa adanya dan tidak dapat berubah. Itulah yang disebur Alif. Adapun bila terjadi perubahan, itulah yang disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri dengan keadaanmu.
Mutiara awal kehidupan (jauhar awal) dimaksudkan dengan kehidupan tempo dulu yang betul-betul terjadisebagaimana tinja junub dan jinabat. Jauhar awal ibarat bebauan atau aroma akan tiba saatnya, tidak boleh tidak akan kita laksanakan dan rasakan di dalam kehidupan kita didunia. Jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh jauhar itu, telah memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam jauhar awal.
Dari keterangan tentang jauhar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya, mengapa kamu wajib shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya demikian : Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah :
Disesuaikan dengan ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau rasakan saat itu; Bukankah Kamu juga berdiri tegak, bersidakep menciptakan keheningan hati, bersidakep menyatukan konsentrasi, menyatukan segala gerakmu?
Ucapanmu juga kau satukan, akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu. Merasa sedih karena malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang jernih, sehingga tenanglah segala kehidupan ruhmu. rahasia iman dapat kau resapi.
Setelah merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula dikerjakan sujud bermula adanya cahaya yang memberi pertanda pentingnya sujud. Yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah, biarpun tidak dapat melihat wujud Allah sesungguhnya, dan yakin bahwa Allah melihat segalawujud gerak kita (pelajaran tentang ikhsan).
Dengan adanya agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di langit termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas sampai kepala diletakkan di muka bumi, sehingga bumi dengan segala keindahannya tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata. Ya demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi ini.
Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan diri dengan harapan ketemu Allah. Padahal sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah. Allah yang kau sembah itu betul-betul ada. Dan hanya Allah-lah tempat kamu mengabdikan diri dengan sesungguhnya.Dan janganlah sekali-kali dirimu menganggap sebagai Allah!
Dan dirimu jangan pula menganggap sebagai Nabi Muhammad. Untuk menemukan rahasia (rahsa) yang sebenarnya herus jeli, sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia yang lain. Dari Allah-lah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Beliau sering menjalankan puasa.
Dan akan dimuliakan makhluk-Nya, kalau mau mengeluarkan shodaqoh. Dimuliakan makhluk-Nya bagi yang dapat naik haji. Dan makhluk-Nya akan dimuliakan, kalau melakukan ibadah shalat.
Matahari berbeda dengan bulan, perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya. Sudahkah hidayah iman terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah pada Allah, juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya ru’yat (melihat dengan mata telanjang) sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata.
Mari kita dalami sifat dari Allah, sifat Allah yang sesungguhnya, Yang Asli, aslinya dari Allah.
Sesungguhnya Allah itu, Allah yang hidup. Segala af'alnya (perbuatanya) adalah berasal dari Allah. Itulah yang demaksud dengan ru’yati.
Kalau hidupmu senantiasa kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairati (kebajikan hidup). Makrifat itu hanya ada di dunia. Jauhar awal khairati (mutiara awal kebajikan hidup), sudah berhasil kau dapatkan. Untuk itu secara tidak langsung sudah kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil (penglihatan yang sempurna).
Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal dari Dzatullah (Dzatnya Allah). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang tersurat, adalah kehendak Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah berasal dari Dzat Allah. Dinamakan Insan Kamil kalau mengetahui keberadaan Allah itu.
Bilamana tidak tertulis namamu, di dalam nuqad ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat. Ya, itulah yang dinamakan puji budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan kehidupan nyawamu semakin baik.
Dan serta badannya, akan disebut badan Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup”.
Syekh Malaya berkata lemah lembut, “mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”.
Nabi Khidir berkata dengan tersenyum manis, “Wahai Malaya! Maksudnya begini. Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang diperuntukkan bagi siapa saya yang belum mengenal dan meniru laku Nabiyullah. Hanya ruh yang tidak mati.
Hidupnya ruh jasmani itu sama dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke dalam neraka. Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti petunjuk Gusti Allah SWT.
Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu termasuk badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang menyembah tanpa mengetahui yang disembah.
Dapat menjadi kafir tanpa diketahui, karena yang disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa hukumnya, itulah kafir yang bakal masuk neraka jahanam.
Adapun yang dimaksudkan Rud Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai akhir nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah.
Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak berwarna, yang senantiasa meserangi hati penuh kewaspadaan yang selalu mawas diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri serta mempersiapkan akhir kematian nanti. Merasa sebagai anak Adam yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan. Ruh Idhafi seudah ada sebelum tercipta.
Syirik itu dapat terjadi, tergantung saat menerima sesuatu yang ada, itulah yang disebut Jauhar Ning.
Keenamnya jauhar awal. Jauhar awal adalah mutiara ibaratnya. Mutiara yang indah penghias raga agra nampak menarik. Mutiara akan tampak indah menawan.
Bermula dari ibarat ketujuh, dikala mendengarkan sabda Allah, maka Ruh Idhafi akan menyesuaikan, yang terdapat di dalam Dzat Allah Yang Mutlak. Ruh serba pasrah kepada Dzatullah, itullah yang dimaksudkan Ruh Idhafi. Jauhar awal itu pula, yang menimbulkan Shalat Daim. Shalat Daim tidak perlu mengunakan air wudhu, untuk membersihkan khadas tidak disyaratkan. Itulah shalat batin yang sebenarnya, diperbolehkan makan tidur syahwat maupun buang kotoran.
Demikianlah tadi cara shalat Daim (shalat selamanya selagi masih hidup di mana saja dan kapan saja serta situasi bagaimanapun juga). Perbuatan itu termasuk hal terpuji, yang sekaligus merupakan perwujudan syukur kepada Allah. Jauhar tadi bersatu padu menghilangkan sesuatu yang menutupi atau mempersulit mengetahui keberadaan Allah Yang Terpilih. Adanya itu menujukkan adanya Allah, yang mustahil kalau tidak berwujud sebelumnya.
Kehidupan itu seperti layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak tahu warna dirinya. Akibat junub sudah bersatu erat tetap bersih badan jisimmu. Adapun Muhammad badan Allah. Nama Muhammad tidak pernah pisah dengan nama Allah.
Bukankah hidayah itu perlu diyakini? Sebagai pengganti Allah; Dapat pula disebut utusan Allah. Nabi Muhammad juga termasuk badan mukmin atau orang yang beriman. Ruh mukmin identik pula dengan Ruh Idhafi dalam keyakinanmu.
Disebut iman maksum, kalau sudah mendapat ketetapan sebagai panutan jati (orang yang sudah layak dijadikan suri tauladan segala tingkah lakunya). Bukankah demikian itu pengetahuanmu? Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang tidak tahu adanya sesuatu di masa yang telah lewat.
Kelak nanti tidak boleh tidak, karena tidak mengetahui ke-Islaman, maka matinya tersesat, kufur serta kafir badannya. Namun bagi yang telah mendapatkan pelajaran ini, segala permasalahan dipahami lebih seksama baru dikerjakan,
Allah itu tidak berjumlah tiga. Yang menjadi suri tauladan adalah Nabi Muhammad. Bukankah sebenarnya orang kufur itu, mengingkari empat masalah prinsip. Di antaranya bingung karena tiada pedoman manusia yang dapat diteladani. Kekafiran mendekatkan pada kufur kafir.
Fakir dekat dengan kafir. Sebabnya karena kafir itu, buta dan tuli tidak mengerti tentang surga dan neraka. Fakhir tidak akan mendekatkan pada Tuhan. Tidak mungkin terwujud pendekatan ini,
Tidak menyembah dan memuji, karena kefakirannya. Seperti itulah kalau fakir terhadap Dzatullah. Dan sesungguhnya Tuhan Allah, mematikan kefakiran manusia, kepastiannya ada di tangan Allah semata-mata. Adapun wujud Dzatullah itu, tidak ada stu makhluk pun yang mengetahui kecuali Allah sendiri. Ruh Idhafi menimbulkan iman. Ruh Idhafi berasal dari Allah Yang Maha Esa, itulah yang disebut iman tauhid. Meyakini adanya Allah juga adanya Muhammad sebagai Rasulullah.
Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan Yang Terpilih. Menyatu dengan Tuhan Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus merasa bahwa Tuhan Allah itu ada dalam dirimu.
Ruh Idhafi ada di dalam dirimu. Makrifat itu sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat, hidup tunggal didalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan Pilihan.
Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal tidak akan terjadi padamu, jangan takut menghadapi sakaratil maut. Jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat.
Ruh Idhafi tidak akan mati. Hidup mati, mati hidup.
Akuilah sedalam-dalamnya bahwa keberadaanmu itu, terjadi karena Allah itu hidup dan menghidupi dirimu, dan menghidupi segala yang hidup. Sastra Alif (huruf alif) harus dimintakan penjelasannya pada guru. Jabar jer-nya pun harus berani susah payah mendalaminya. Terlebih lagi pengetahuan tentang kafir dan syirik!
Sesungguhnya semua itu, tidak dapat dijelaskan dengan tepat maksud sesungguhnya. Orang yang menjalankan shalat itu berarti sudah mendapatkan anugrah sifat Tuhan Allah. Sebagai sarana pengabdian hamba kepada Tuhan Allah. Yang menjalankan shalat sesungguhnya raga. Raga yang shalat itu terdorong oleh adanya iman yang hidup pada diri orang yang menjalankannya.
Seandainya nyawa tidak hidup, maka Lam Tamsyur (maka tidak akan menolong) semua perbuatan yang dijalankan. Secara yang tersurat, shalat itu adalah perbuatan dan kehendak orang yang menjalankan, namun sebenarnya Allah-lah yang berkehendak atas hambanya. Itulah hakikat dari Tuhan penciptanya. Ruh Idhafi berada di tangan orang mukmin.
Semua ruh berada di tangan-Nya. Yaitu terdapat pada Ruh Idhafi. Ruh Idhafi adalah sifat jamal (sifat yang bagus atau indah) keindahan yang berasal Dzatullah. Ruh Idhafi nama sebuah tingkatan (maqom), yang tersimpan pada diri utusan Allah (Rasulullah).
Syarat jisim lathif (jasad halus) itu, harus tetap hidup dan tidak boleh mati.
Cahayanya berasal dari ruh itu, yang terus menerus meliputi jasad. Yang mengisayaratkan sifat jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus mengisyaratkat adanya sifat jamal (sifat keindahan).
Jauhar awal mayit (mutiara awal kematian) itu, memberi isyarat hilangnya diri ini. Jelasnya, semua yang tercipta akan mati. Setelah semuanya menemui kematian di dunia, maka akan berganti hidup di akherat. Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi.
Asal mula manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu serta Tuhan Yang Maha Pencipta. Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir. Ya, itulah isyarat dari tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka dikembalikan kepada yang menitipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus seperti sedia kala.
Bukankah tauhid itu sebagai sarana untuk makrifat?
Titipan yang ketiga puluh hari, itu juga termasuk juga titipan, yang ada hanya kemiripan dengan yang tujuh hari. Kalau menangis mengeluarkan air mata karena menyesali sewaktu masih hidup.
Seperti teringat semasa kehidupan itu berasal dari Nur. Yang mana cahayanya mewujudkan dirimu. Hal itulah yang menimbulkan kesedihan dan penyesalan yang berkepanjangan. Tak terkecuali siapun yang merasakan itu semua, sebagaimana kamu mati, saya merasa kehilangan.
Mati atau hilang bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari. Bagaimanakah yang lebih tepat untuk melukiskan persamaan sesama makhluk hidup secara keseluruhannya?
Allah dan Muhammad semuannya berjumlah satu. Seratuspun dapat dilukiskan seperti satu bentuk, seperti diibaratkan dengan adanya cahaya yang bersumber dari cahaya Muhammad yang sesungguhnya.
Sama hal pada saat kamu memohon sesuatu. Ruh jasad hilang di dalamnya, kehadirat Tuhan Yang Maha Pemberi. Tepat pada hari keseribu, tidak ada yang tertinggal. Kembalinya pada Allah sudah dalam keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama dalam keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama diciptakan”.
Syekh Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya Syekh Mahyuningrat Nabi Khidir. Syekh Malaya senang hatinya sehingga beliau belum mau keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya menghaturkan sembah, sambil berkata manis seperti gula madu...
Pupuh Dhandhanggula
 
Sunan Kalijaga menerima wejangan dari Nabi Khidir

..."Kalau begitu hamba tidak mau keluar dari raga dalam tuan. Lebih nyaman di sini saja yang bebas dari sengsara derita. Tiada selera makan dan tidur. Tidak merasa ngantuk dan lapar. Tidak harus bersusah payah dan bebas dari rasa pegal dan nyeri. Yang terasa hanyalah rasa nikmat dan manfaat. Nabi Khidir memperingatkan, “yang demikian tidak boleh kalau tanpa kematian”!
Nabi Khidir semakin iba kepada pemohon yang meruntuhkan hatinya. Kata Nabi Khidir, “kalau begitu yang awas sajalah! Terhadap hambatan upaya! Jangan sampai kau kembali! Memohonlah yang benar dan waspada. Anggaplah kalau sudah kau kuasai, jangan hanya digunakan dengan dasar bila ingat saja, karena hal itu sebagai rahasia Allah.
Tidak diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia, kalau tanpa seizin-Nya! Sekiranya ada yang akan mempersoalkan, memperbincangkan masalah ini! Jangan sampai terlanjur! Jangan sampai membanggakan diri! Jangan peduli terhadap gangguan, cobaan hidup! Tapi justru terimalah dengan sabar!
Cobaan hidup yang menuju kematian, ditimbulkan akibat buah pikir. Bentuk yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagadmu! Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah saja. Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukankah sudah berada di tubuh? Sungguh, bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan!
Kemudian tidak pernah memberitahukan darimana asalnya dulu. Yang menyatu dalam gerak perputaran bawana. Bukankah berita sebenarnya sudah ada padamu? Cara mendengarnya adalah denga ruh sejati, tidak menggunakan telinga. Cara melatihnya, juga tanpa dengan mata. Adapun telinganya, matanya yang diberikan oleh Allah. Ada padamu itu.
Secara lahir sukma atu ada padamu. Secara batinnya ada pada sukma itu sendiri. Memang demikianlah penerapannya. Ibarat seperti batang pohon yang dibakar, pasti ada asap apinya, menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alunnya. Seperti minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai gerak dan kata hati. Demikian pun dengan Hyang Sukma.
Sekiranya kita mengetahui wajah hamba Tuhan. Dan sukma yang kita kehendaki ada. Diberitahu akan tempatnya seperti wayang ragamu itu. Karena dalanglah segala gerak wayang. Sedangkan panggungnya jagad. Bentuk wayang adalah sebagai bentuk badan atau raga. Bergerak bila digerakkan. Segala-galanya tanpa kelihatan jelas, perbuatan dengan ucapan.
Yang berhak menentukan semuanya, tidak tampak wajahnya. Kehendak justru tanpa wujud dalam bentuknya. Karena sudah ada pada dirimu. Permisalan yang jelas ketika berhias.
Yang berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan dalam kaca itu ialah dia yang bernama manusia sesungguhnya. Berbentuk di dalam kaca.
Lebih besar lagi pengetahuan tentang kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya, karena lebih lembut seperti lembutnya air. Bukankah lebih lembut kematian manusia ini? Artinya lembut ialah karena kecilnya. Sekecil kuman. Bukankah lebih lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih dari, karena menentukan segalanya. Sekali lagi artinya lembut ialah sangat kecilnya.
Dapat mengenai yang kasar dan yang kecil. Mencakup semua yang merangkak, melata tiada bedanya, benar-benar serba lebih. Lebih pula dalam menerima perintah dan tidak boleh mengandalkan pada ajaran dan pengetahuan. Karena itu bersungguh-sungguhlah menguasainya. Badan atau dirimu doronglah dalam meraihnya. Pahamilah liku-liku ulah tingkah kehidupan manusia!
Ajaran itu sebagai ibarat benih sedangkan yang diajari ibarat lahan.
Misal kacang dan kedelai. Yang disebar di atas batu. Kalau batunya tanpa tanah pada saat kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh. Tapi bila kau bijaksana, melihatmu musnahkanlah pada matamu! Jadikanlah penglihatanmu sukma dan rasa.
Demikian pula wujudmu, suaramu. Serahkan kembali kepada yang Empunya suara! Justru kau hanya mengakui saja sebagai pemiliknya. Sebenarnya hanya mengatasnamai saja. Maka dari itu kau jangan memiliki kebiasaan yang menyimpang, kecuali hanya kepada Hyang Agung. Dengan demikian kau "Angraga Sukma." Yaitu kata hatimu sudah bulat menyatu dengan kawula Gusti. Bicarakanlah menurut pendapatmu!
Bila pendapatmu benar-benar meyakinkan, bila masih merasakan sakit dan was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya. Bila sudah menyatu dalam satu wujud. Apa kata hatimu dan apa yang kau rasakan. Apa yang kau pikir terwujud ada. Yang kau cita-citakan tercapai. Berarti sudah tercakup/kuasai olehmu. Jagad seisinya justru benar-benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di dunia. Bila sudah memahami dan menguasai amalan dan ilmu ini, hendaknya semakin cermat dan teliti atas berbagai masalah.
Masalah itu satu tempat dengan pengaruhnya. Sebagai ibaratnya sekejap pun tak boleh lupa. Lahiriah kau landasilah dengan pengetahuan empat hal. Semuanya tanggapilah secara sama. Sedangkan kelimanya adalah dapat tersimpan dengan baik, berguna dimana saja!
Artinya mati di dalam hidup. Atau sama dengan hidup di dalam mati. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma muksa. Jelasnya mengalami kematian! Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan senang hatimu! Anugrah berupa wahyu akan datang kepadamu.
Seperti bulan yang diterangi cahaya temaram. Bukankah turunnya wahyu menghilangkan kotoran? Bersih bening, hilang kotorannya”.
Kemudian Nabi Khidir berkata dengan lembut dan tersenyum. “Tak ada yang dituju, semua sudah tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan keprawiraan, kesaktian semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat peperangan”.
Habislah sudah wejangan Nabi Khidir. Syekh Malaya merasa sungkan sekali di dalam hati. Mawas diri ke dalam dirinya sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat petunjuk yang cukup. Rasa batinya menjelajah jagad raya tanpa sayap. Keseluruh jagad raya, jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Umpama bunga yang masih lama kuncup, sekarang sudah mekar berkembang.
Ditambah bau semerbak mewangi. Karena sudah mendapatkan sang Pancaretna, kemudian Sunan Kalijaga disuruh keluar dari raganya Nabi Khidir kembali ke alamnya semula”.
Lalu Nabi Khidir berkata, “He, Malaya. Kau sudah diterima Hyang Sukma. Berhasil menyebarkan aroma Kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang memanaskan hatimu pun lenyap.
Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi. Berarti kau sudah mengetahui jawaban atas pertanyaanmu! Artinya godaan hati ialah rasa qona'ah yang semakin dimantapkan. Ibarat memakai pakaian sutra yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus. Diresapkan kedalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihiasi dengan keselamatan, dan dipajang seperti permata, agar mengetahui akan kemauan berbagai tingkah laku manusia. Perhaluslah budi pekertimu atau akhlak ini! Warna hati kita yang sedang mekar baik, sering dinamakan Kasturi Jati. Sebagai pertanda bahwa kita tidak mudah goyah, terhadap gerak-gerik, sikap hati yang ingin menggapai sesuatu tanpa ilmu, ingin mendalami tentang ruh itu justru keliru. Lagi pula secara penataan, kita itu ibaratnya busana yang dipakai sebagai kerudung. Sedangkan yang ikat kepala sebagai sarungmu.
Kemudian terlibat ingatan ketika dulu. Ibarat mendalami mati ketika berada di dalam rongga ragaku.
Tampak oleh Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai hambatan yang menghadang agar gagal usaha atauu ikhtiar atau cita-citanya. Dan yang putih di tengah itulah yang sebenarnya harus diikuti. Kelimanya harus tetap diwaspadai. Kuasailah seketika jangan sampai lupa! Bisa dipercaya sifatnya.
Berkat kesediaanku berbuat sebagai penyekat. Untuk alat pembebas sifat berbangga diri. Yang selalu didambakan siang dan malam. Bukankah aku banyak sekali melekat atau mengetahui caranya pemuka agama yang ternyata salah dalam penafsiran. Dan penyampaian keterangannya? Anggapannya sudah benar. Tak tahunya malah mematikan pengertian yang benar. Akibatnya terperosok dalam penerapannya.
Ada pemuka agama yang ibaratnya menjadi burung. Ia hanya sekedar mencari tempat bertengger saja. Yaitu pada batang kayu yang baik rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya. Untuk kemuliaan hidup baru. Ada orang yang berkedudukan, ada yang ikut orang kaya. Akhirnya di masyarakatkan. Ibaratnya seperti sekedar memperoleh kemuliaan sepele. Jadinya tersesat-sesat.
Ada pula yang justru memiliki jalan terpaksa.
Menumpuk kekayaan harta dan istri banyak. Ada pula yang memilih jalan menguasai putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi orang per orang. Semuanya ingin mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki jalan mereka. Kalau demikian halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka disebut pemuka agama yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tapi masih berkeinginan pribadi atau berambisi. Agar semua itu menjunjung harkat dan martabat.
Tatanan yang tidak pasti, belum bisa disebut manusia utama. Yang demikian itu menurut anggapannya dan perasaannya mendapatkan kebahagiaan, kekayaan dan mengerti hak yang benar. Bila kemudian tertimpa kedudukan, terlanjur terbiasa. Memilih jalan sembarang tempat, tanpa menghasilkan jerih payahnya dan tanpa hasil. Dalam arti mengalami kegagalan total.
Setidak-tidaknya menimbulkan kecurigaan. Apa kebiasaan ketika hidup didunia. Ketika menghadapi datangnya maut, disitulah biasanya tidak kuat menerima ajal. Merasa berat meninggalkan kehidupan dunia tak tersangkal lagi. Pokoknya masih lekat sekali pada kehidupan duniawi. Begitulah beratnya mencari kemuliaan. Tidak boleh lagi merasa terlekat kepada anak-istri. Pada saat-saat menghadap ajalnya.
Bila salah menjawab pertanyaannya bumi, lebih baik jangan jadi manusia! Kalau matinya binatang mudah penyelesaiannya. Karena matinya tanpa pertanggungjawaban. Bila kau sudah merasa hatimu benar. Akan hidup abadi tanpa hisab. Akibatnya, tubuh bumi itu keterdiamannya tidak membantu. Kesepiannya tidak mencair. Tidak mempedulikan pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadanya.
Ingatlah pada agamawan selalu mencari penyelesaian yang benar. Yaitu bagaimana hilang dan mati bersama raganya ialah diidamkannya. Sehingga mempertinggi semedinya, untuk mengejar keberhasilan. Tapi sayang tanpa petunjuk Allah, apalagi hanya semedi semata. Tidak disertai dukungan ilmu.Akibatnya hasilnya kosong melompong. Karena hanya mengandalkan pikirnya. Ini berarti belum mendapat tata cara hidup yang benar hakiki yang seperti ini adalah idaman yang sia-sia.
Bertapanya sampai kurus kering, karena sedemikian rupa caranya menggapai kematian. Akhirnya meninggalnya tanpa ketentuan yang benar. Karena terlalu serius.adapun cara yang benar adalah tapa itu hanya sebagai ragi atau pemantap pendapat. Sedangkan ilmu itu sebagai pendukung. Tapa tanpa ilmu tidak akan berhasil. Bila ilmu tanpa tapa
Rasanya hambar tidak akan memberi hasil. Berhasil atau tidaknya tergantung pada penerapannya. Dicegah hambatannya yang besar, sabar dan tawakal. Bukankah banyak agamawan palsu. Ajarannya setengah-setengah. Kepada sahabatnya merasa pintar sendiri. Yang tersimpan dihati, segera dilontarkan segala uneg-unegnya. Disampaikan kepada gurunya.
Penyampaiannya hanya berdasarkan perkiraan belaka.
Dahulunya belum mendapatkan pelajaran. Sangking tobatnya tidak merasa enak kalau menyanggah. Lalu ikut-ikutan mendengarkan. Dengan menamakan rohaniwan yang terbesar. Dianggapnya sudah pasti pendapatnya benar. Pendapatnya atau ilmunya adalah wahyunya itu anugerah yang khusus diberikan pribadi. Akhirnya sahabatnya diaku sebagai anak.
Ditekan-tekankan tuntutan besar berupa ikatan batin. Oleh guru bila sudah akan mejang atau menyampaikan ajaran, duduk merasa sering berdekatan. Sehingga sahabat dikuasai oleh guru, dan sang guru menjadi sahabat batin. Luansnya tanggapan bahwa segalanya merupakan merupakan wahyu Allah. Kebaikannya, keduanya antara guru dan sahabat saling memahami. Kalau seorang diantara mereka dianggap sebagai orang yang berilmu.
Harus ditaati segala apapun yang diucapkan itu. Misalnya berjalan juga harus disembah biasanya bertempat di pucuk-pucuk gunung.
Pengaruh ajarannya sangat mengundang perhatian menemui perguruannya. Bila ada yang berguru atau menghadap, nasihatnya macam-macam dan banyak sekali. Seperti gong besar yang dipukul. Bukankah ajarannya yang dibeber tidak bermutu atau berbobot. Akibatnya rugilah mereka yang berguru?
Janganlah seperti itu orang hidup. Anggaplah ragamu sebagai wayang. Digerakkan ditempatnya. Terangnya blencong itu ibarat panggung kehidupanmu. Lampunya bulan purnama, layar ibarat alam jagad raya yang sepi kosong. Yang selalu menunggu-nunggu buah pikir atau kreasi manusia. Batang pisang ibarat bumi tempat bermukim manusia. Hidupnya ditunjang oleh yang nanggap.
Penanggapnya ada di dalam rumah, istana. Tidak diganggu oleh siapapun. Boleh berbuat menurut kehendaknya. Hyang Permana dalangnya. Wayang pelakunya. Adakalanya digerakkan ke utara ke selatan dan barat serta timur. Seluruh gerakkannya. Digerakkan oleh sutradara. Bila semuanya digerakkan berjalan. Semua ada di tangan dalang.
Dialognya menyampaikan pesan juga. Bila bercakap lisannya itu menyampaikan berbagai nasihat, menurut kehendaknya. Penonton dibuat terpesona, diarahkan melekat pada dalang. Adapun yang nanggap itu selamanya tidak akan tahu. Karena ia tanpa bentuk dan ia berada di dalam puri atau rumah atau istana. Ia tanpa warna itulah dia Hyang Sukma.
Cara Hyang Permana mendalang, mempercakapkan tanpa dirimu. Tanpa membedakan sesama titah. Di samping itu, bukankah dia tidak terlibat sebagai pelaku? Misalnya berada dalam tubuhmu? Atau ibarat minyak di dalam susu? Atau api dalam kayu?.
Berhasrat sekali karena belum diberi petunjuk sehingga menggelar doa di kayu, dakon dan gesekan. Dengan beralatkan sesama batang pohon. Gesekan itu disebabkan oleh angin. Hangusnya kayu, keluarlah kukusnya. Tak lama kemudian apinya. Api dan asapnya keluar dari kayu itu. Bermula dari ingat pada saat awal mulanya. Semua yang tergelar ini berasal dari tiada. Manusia diciptakan lebih dari makhluk yang lain. Bukankah itu yang disebut rahasia atau rahsa?
Manusia itu tidak paling mulia daripada ciptaan yang lain. Maka dari itu janganlah mudah terpengaruh oleh buah pikirmu yang bulat. Bulat atas segala gerak dan kehendak. Adapun isi jagad itu jangan mengira hanya manusia saja, tapi berisi segala macam titah. Hanya saja manusia itu. Penguasanya satu. Yang menghidupi jagad seisinya. Demikianlah tekad yang sempurna.
Hei Syekh Malaya segeralah menyudahi! Kembalilah kau ke pulau Jawa! Bukankah sebenarnya kau mencari dirimu juga?.
Syekh Malaya bergegas. Bersembah dan berkata dengan berbelas kasih untuk memenuhinya, yang disebut Kalingga Murda,”Hamba setia dan taat”. Nabi Khidir lalu musnah dan lenyap. Syekh malaya tampak berdoa di samudera. Tapi tidak tersentuh air.
Syekh Malaya sangat berjanji dalam hati atas peringatan atau ajaran sang guru yang sempurna. Bukankah ia masih sangat ingat? Hasrat hati yang telah memiliki atau mengetahui ilmu kawekas. Isinya jagad telah terkuasai dalam hati, merasa mantap dan disimpan dalam ingatan. Sehingga serba mengetahui dan tak akan keliru lagi. Diresapi dalam jiwa dan dijunjung sampai mati. Ia telah lulus dari sumber aroma kasturi yang sebenarnya. Sehingga sifat panasnya hati lenyap.
Sesudah itu Syekh Malaya pulang. Hatinya sudah tidak goyah lagi karena segala ajaran itu tampak jelas dalam hati. Ia tidak salah lagi melihat dirinya siapa sebenarnya. Penjelmaan jiwanya menyatu dalam satu wujud. Walau secara lahiriah dirahasiakan. Norma atau perilaku tatacara jiwa kesatria, berhasil dikuasai. Bukankah ia sudah menggunakan mata batinnya yang tajam atau peka? Ibarat hewan dengan bebannya!
Sudah tak ada atau terjadi, kematian dalam kehidupan. Setelah bagaimana ia menerima ajaran gurunya. Sama sekali tidak diragukan lagi. Seluruh ajaran gurunya sudah tamat dan di kuasai dengan tersimpan dalam hati, serta diimankan dengan cermat. Mematuhi semua ajaran guru. Perbuatan, pikiran dan rasa bukankah diuji dalam hati yang suci dan bening? Benar-benar terasa sebagai anugrah Tuhan.
Sesungguhnya sang guru benar-benar sudah hilang raganya, sudah tidak ada. Akan tetapi selalu terbayang dalam hatinya. Dan sudah ditetapkan sebagai kekasihnya. Adapun segala ketercelaan hati sudah lenyap. Rasanya tenanglah dunia dan akhirat. Karena kebersihan dan kesucian jiwa sudah diketemukan. Sukma suci dalam segala tingkah lakunya itu memahami sepaham-pahamnya.
Bukankah sudah memahami buah pikir lewat petunjuk? Sehingga tidak takut akan kematian yang sering timbul dalam buah pikiran? Ia sudah mengharapkan bahwa raganya akan ikhlas kalau kematian yang mulia. Yang diridhai oleh Tuhan atau Sang Hyang Widi. Namun sebenarnya tidak ada anggapan perasaan. Yaitu rasa seperti itu. Tiadanya pandang atau wawasan seperti itu. Bukankah sudah lenyap selamanya. Tinggal jiwa suci yang terpuji mulia? Mulia seperti zaman dahulu atau awalnya.
Tidak meragukan kematian yang sebenarnya. Yang menjemput maut setiap saat. Tidak merasakan akan kematiannya. Toh yang rusak itu nafsu dan badan, jiwa hidup abadi dan aman sejahtera. Senang, mulia dan merdeka, semuanya itu sudah diterapkan dalam hati. Sehingga berpegang pada kuasa-Nya. Semuanya bersih, abadi suci dan merata sama posisinya. Sudah mengetahui akan makna kematian yang sebenarnya.
Ia tidak merasa takut kapanpun maut menjemput. Yang sempurna ialah yang diterima oleh Tuhan. Tak akan tampak wujudnya. Adapun kesempurnaan mati itu. Sekali lagi ialah sudah aman, sejahtera, mulia, itulah makna yang sempurna. Yaitu tidak meninggalkan hak-Nya. Ketujuh alam sudah lenyap. Bukankah lenyapnya alam ini sudah jelas? Kini yang lain ibarat kau sajalah!
Penguasa alam bukankah sudah kita ketahui? Yang bernama Abirawa yang artinya berkuasa dan berkehendak. Adapun alam yang keenam artinya ialah yang telah lenyap : timur, barat, utara, selatan, atas, bawah serta kayu dan batu dan diri sendiri. Bila kita telah mati yang ada hanya kosong dan sepi. Yang terdengar hanya deru angin, debur air dan kobaran api di alam dahana.
Matahari, bulan, bukankah termasuk alam juga? Dua puluh tiga alam yang serba nafsu itu, semuanya baru hadis belaka. Walaupun bukankah sama dahulunya? Syekh Malaya sudah memahami hal itu semua? Kalau itu semua adalah alam serba nafsu. Dan alam yang sebenar-benarnya sudah jelas yaitu penguasa alam semua. Sedang penyelarasnya hanyalah alam anbiyak ini. Alam anbiyak itu baunya harum dan mewangi.
Tapi bukan pribadi majazi. Yang hakiki yang menyelaraskan alam. Menjadi terang dan mulia semua. Dan alam berarti itu ialah tempat jiwa suci, terang, bersih. Itulah alam malakut. Artinya ialah sudah tiba menjelang alam kemuliaan. Ibarat ruangan, sekat sebagai pemisah. Adapun alam anbiyak ialah.
Alam mulia yang masih akan digapai. Sifat hidup itulah kehidupannya. Banyak yang belum tahu akan kenyataannya. Tentang mana mirah mana intan. Sudah jelas nilai dari Kumala Adi. Yaitu sebagus-bagusnya warna dari intan itu sendiri. Lenyapnya bukankah sama dengan lainnya? Yaitu sudah menyatu dengan sebenar-benarnya kematian lainnya. Itulah alam anbiya.

BAJU TAQWA SUNAN KALIJOGO

Wejangan Beliau yang berupa lagu atau macapat :
Birahi ananireku,
aranira Allah jati.
Tanana kalih tetiga,
sapa wruha yen wus dadi,
ingsun weruh pesti nora,
ngarani namanireki

Timbullah hasrat kehendak Allah menjadikan terwujudnya dirimu; dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya; Allah itu tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri.

Sipat jamal ta puniku,
ingkang kinen angarani,
pepakane ana ika,
akon ngarani puniki,
iya Allah angandika,
mring Muhammad kang kekasih.

Ada pun sifat jamal (sifat terpuji/bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan, bahwa pada dasarnya adanya dirinya, karena ada yang mewujudkan adanya. Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi Kekasih-Nya

Yen tanana sira iku,
ingsun tanana ngarani,
mung sira ngarani ing wang,
dene tunggal lan sireki iya Ingsun iya sira,
aranira aran mami

Kalau tidak ada dirimu, Allah tidak dikenal/disebut-sebut; Hanya dengan sebab ada kamulah yang menyebutkan keberadaan-Ku; Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya AKU, Allah, menjadikan dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya Dzatku

Tauhid hidayat sireku,
tunggal lawan Sang Hyang Widhi,
tunggal sira lawan Allah,
uga donya uga akhir,
ya rumangsana pangeran,
ya Allah ana nireki.

Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan. Menyatu dengan Allah, baik di dunia maupun di akherat. Dan kamu merasa bahwa Allah itu ada dalam dirimu

Ruh idhofi neng sireku,
makrifat ya den arani,
uripe ingaranan Syahdat,
urip tunggil jroning urip sujud rukuk pangasonya,
rukuk pamore Hyang Widhi

Ruh idhofi ada dalam dirimu. Makrifat sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat (kesaksian), hidup tunggal dalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan pilihan.

Sekarat tananamu nyamur,
ja melu yen sira wedi,
lan ja melu-melu Allah,
iku aran sakaratil,
ruh idhofi mati tannana,
urip mati mati urip.

Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal (sekarat) tidak terjadi padamu. Jangan takut menghadapi sakratulmaut, dan jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat. Ruh idhofi tak akan mati; Hidup mati, mati hidup

Liring mati sajroning ngahurip,
iya urip sajtoning pejah,
urip bae selawase,
kang mati nepsu iku,
badan dhohir ingkang nglakoni,
katampan badan kang nyata,
pamore sawujud, pagene ngrasa matiya,
Syekh Malaya (S.Kalijaga) den padhang sira nampani,
Wahyu prapta nugraha.

mati di dalam kehidupan. Atau sama dengan hidup dalam kematian. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sirna, sukma mukhsa. Jelasnya mengalami kematian! Syeh Malaya (S.Kalijaga), terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan hatimu yang lapang. Anugerah berupa wahyu akan datang padamu.

Dari wejangan tersebut kita bisa lebih mengenal GUSTI ALLAH dan seharusnya manusia tidak takut untuk menghadapi kematian. Disamping itu juga terdapat wejangan tentang bagaimana seharusnya semedi yang disebut "mati sajroning ngahurip" dan bagaimana dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Rabu, 03 Agustus 2011

KYAI SEMAR BODRONOYO

Kyai Semar Bodronoyo

Salah satu tokoh wayang yang paling banyak digemari dalam masyarakat Jawa adalah Semar. Dalam mitologi Jawa, semar adalah seorang pemimpin yang sering dipuja karena keberhasilannya dalam memajukan bangsa. Tokoh ini banyak dijadikan sebagai simbol seorang pemimpin yang ideal, yang memiliki sifat rendah hati, suka menolong sesama, tidak serakah, melakukan tapa , mengurangi makan dan tidur, dan laku lainnya. Hal ini menarik karena sifat-sifat manusia dalam mitologi Jawa sering kali disimbolkan dengan sifat dan watak dari tokoh-tokoh dalam dunia pewayangan, bahwa apa yang terjadi di dunia pewayangan akan terjadi pula di dunia nyata ini, seolah apa yang dilakonkan dalam cerita wayang, menggambarkan keadaan yang nyata baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Dalam kenyataan hidup, semar merupakan lambang yang memberi petunjuk mengenai hidup, kehidupan dan masalahnya. Petunjuk-petunjuk semar sedehana, karena dia seorang pembantu atau abdi , tetapi karena tokoh semar ini baik hati dan penasehat para Pandhawa yang bijaksana, para hadirin yang menonton wayang wajib memperhatikan nasehat dan ajaran semar serta petunjuknya, yang selama ini dianggap sebagai contoh dan teladan orang Jawa.
Oleh karena itu, menurut Niels Mulder (1996) ajaran-ajaran Jawa penuh dengan simbolisme dan ilmu rahasia ( ngelmu ) yang memacu angan-angan dan renungam mitologi wayang purwa yang diilhami oleh cerita Mahabharata , kehidupan dunia nampak hanya merupakan pencerminan semata, suatu bayangan dari kebenaran dan kejadian-kejadian yang lebih tinggi.
Dalam pembahasan akan dipapar lebih lanjut mengenai tokoh semar dalam mitologi Jawa dilihat dari konsep kepemimpinan dan pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Jawa pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Semar dalam bahasa Jawa (filosofi Jawa) disebut Badranaya
Bebadra = Membangun sarana dari dasar
Naya = Nayaka = Utusan mangrasul
Artinya : Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia
Javanologi : Semar = Haseming samar-samar (Fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya : "Sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal". Sedang tangan kirinya bermakna "berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik".
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa.

Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang KeEsa-an, yaitu: Suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual . Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an yang Maha Esa.
Semar itu lambang gelap gulita, lambang misteri, ketidaktahuan mutlak, yang dalam beberapa ajaran mistik sering disebut-sebut sebagai ketidaktahuan kita mengenai Tuhan.
Konon Kaki Semar adalah Kakek moyang yg pertama dan digambarkan sebagai perwujudan dari orang Jawa yg pertama. Karena mendapat "tugas khusus" dari Gusti Kang Murbeng Dumadi (Tuhan YME), maka Kaki Semar memiliki kemungkinan untuk terus hadir dgn keberadaan pada setiap saat, kepada siapa saja dan kapan saja menurut apa yg dikehendaki.

Semar Badranaya adalah tokoh punakawan yang dalam wayang Jawa memiliki peran yang lebih utama daripada wayang babon (wayang dengan tokoh asli India ). Punakawan adalah karakter yang khas dalam wayang Indonesia . Mereka melambangkan sifat manusia. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasehat para ksatria, penghibur, kritisi social, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Dalam wayang Jawa karakter punakawan terdiri atas Sema r, Garen g, Bagon g dan Petruk .
Di dalam wayang kulit, semar adalah pembantu Pandhawa, tetapi dia sangat dihormati oleh tuannya. Semar biasanya dimintai nasehat oleh Pandhawa dalam mengambil keputusan mengenai masalah yang dianggap gawat dan mendesak. Sebagai punakawan yang tertua, semar tidak punya keinginan memegang kekuasaan duniawi sebagaimana halnya kebanyakan manusia. Hal ini dikarenakan kekuasaan umumnya dapat mengubah watak, situasi sekaligus dapat mencelakakan. Semar dapat mencapai tujuannya secara efektif dengan cara memberi contoh, sebagai metode pengajarannya tanpa bermaksud mengusai orang lain atau harta benda. Masyarakat Jawa percaya bahwa semar adalah turunan dari satu dewa dalam mitos yang paling berkuasa.
Sebagai tokoh wayang yang memiliki banyak keunggulan sifat pribadi, banyak masyarakat Jawa yang tetarik dengan dunia wayang, menjadikan semar sebagai sosok ideal yang patut dijadikan panutan dalam menjalani hidup sehari-hari. Kehadiran semar dalam kehidupan nyata ini sering ditunggu-tunggu mengingat kondisi negara saat ini yang semakin kacau, kesengsaran dan penindasan oleh kaum kuat terhadap yang lemah semakin merajalela, moral dan etika tidak lagi diindahkan, para pemimpin yang hanya memikirkan kekayaan pribadi tanpa peduli dengan keadaan rakyatnya yang semakin tertindas dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Dunia pewayangan melukiskan situasi tersebut sebagai penanda akan hadirnya tokoh semar, seorang dewa yang turun dari langit untuk menyelamatkan manusia (Abdul Munir Mulkan, 2005). 

Mitos Asal Usul Semar
Tuti Sumukti (2005:20) mengatakan ada dua versi utama yang menceritakan asal-usul semar. Pertama, langit dan bumi yang dikuasai oleh Sang Hyang Wenang , mempunyai anak bernama Sang Hyang Tunggal . Sang Hyang Tunggal ini mempunyai istri bernama Dewi Rekawati , putri kepiting raksasa yang bernama Rekatama. Pada suatu hari Dewi Rekawati bertelur dan seketika itu telur itu terbang ke langit menuju ke hadapan Sang Hyang Wenang . Telur itu menetas sendiri kemudian muncul tiga makhluk yang berasal dari kulit telur, putih telur dan kuning telur. Makhluk yang berasal dari kulit telur dinamai Tejamantri , dari putih telur adalah Ismaya dan yang dari kuning telur itu Manikmaya.
Pada suatu hari mereka terlibat pertengkaran karena mempermasalahkan siapa yang akan menggantikan kedudukan ayahnya kelak, sebagai penguasa. Manikmaya menyarankan agar diadakan pertandingan menelan gunung dan memuntahkannya kembali. Tejamantri , melakukannya lebih dulu, tetapi gagal. Kemudian Ismaya , dia dapat menelannya, tetapi tidak berhasil memuntahkannya kembali. Kejadian ini menyebabkan terjadinya Goro-Goro atau bencana. Goro-goro ini menyebabkan Sang Hyang Wenang turun tangan dan mengambil keputusan bahwa pada waktunya Manikmaya akan menjadi raja para dewa, penguasa kahyangan dan akan mempunyai keturunan yang menjadi penduduk bumi. Sementara Tejamantri dan Ismaya harus turun ke bumi untuk memelihara keturunan Manikmaya . Keduanya boleh menghadap Sang Hyang Wenang jika Manikmaya bertindak tidak adil. Sejak saat itu nama mereka diganti, Tejamantri menjadi Togog , Ismaya dinamakan Semar dan Manikmaya menjadi Bathara Guru . Karena sebuah gunung pernah ditelannya bentuk tubuh semar menjadi besar, gemuk dan bundar.
Versi kedua, bahwa sebutir telur yang dipegang Sang Hyang Wenang menetas sendiri dan tampaklah langit, bumi dan cahaya atau teja serta dua makhluk anthropomorphis, Manik dan Maya . Versi pertama dan kedua bila dibandingkan akan ada persamaan, Ismaya dari versi pertama dan Maya dari versi kedua terjadi dari putih telur. Manikmaya dan Manik merupakan transformasi dari kuning telur dan keduanya menjadi raja para dewa di surga. Dalam kedua versi tersebut Manikmaya dan Manik menjadi Bathara Guru , yang keturunannya tersebar di surga dan bumi, sedangkan Ismaya dan Maya dinamakan Semar dan dijadikan pelindung bumi. Jelas disini bahwa semar adalah tokoh dominan di alam semesta dan sebagai pelindung bumi yang erat kaitannya dengan penduduk bumi. 

Penggambaran Tokoh Semar
Menurut Herjaka semar dalam bahasa Jawa disebut dempel = keteguhan jiwa . Rambut semar berbentuk seperti kuncung yang bermakna akuning sang kuncung , yaitu sebagai kepribadian pelayan yang mengejawantah untuk melayani manusia.
Dia tidak laki-laki dan bukan perempuan, tangan kanannya ke atas mempunyai makna bahwa sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan symbol Sang Maha Tunggal . Sedangkan tangan kirinya ke belakang mengandung makna berserah total dan mutlak serta sekaligus symbol kemuliaan yang netral namun simpatik.
Penggambaran bentuk fisik semar tidak mudah ditebak. Wajahnya adalah wajah laki-laki, tapi badannya seperti perempuan dengan perut dan dada besar. Rambutnya putih dan memiliki kerutan di wajah yang menandakan dia telah lanjut usia, tetapi potongan rambutnya kuncung sepeti anak-anak. Bibirnya tersenyum tetapi matanya selalu mengeluarkan air mata. Semar menggunakan kain sarung kawung seperti yang digunakan para abdi.
Penggambaran bentuk yang demikian menjadikan semar sebagai sosok yang sarat misteri dan juga simbol kesempurnaan hidup. Tubuh semar tersimpan karakter wanita, laki-laki, anak-anak, orang tua, ekspresi gembira dan sedih bercampur menjadi satu.melihat genealogi semacam itu, semar selalu hadir dalam setiap lakon wayang dan kehadirannya sangat dinanti para penggemarnya. Meskipun dia seorang abdi , rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam namun dibalik wujud lahirnya tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni mengayomi, mampu menyelesaikan masalah, sabar, dan bijaksana. 

Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan
Masalah pemimpin dan kepemimpinan merupakan masalah sosial. Pemimpin tidak akan muncul tanpa adanya masyarakat, pemimpin tidak dapat disebut pemimpin tanpa adanya kelompok individu sebagai bawahannya. Manusia merupakan topik sentral mengenai permasalahan dan tujuan ilmu-ilmu kepemimpinan, khususnya mengenai ketertiban, keselarasan, keteraturan dan ketrentaman hidupnya. Fungsi seorang pemimpin untuk menjaga terlaksananya suatu peraturan yang berlaku sering terjadi meskipun telah dibuat suatu peraturan jika tanpa pengarahan dan petunjuk yang benar dari orang-orang yang lebih tahu (pemimpin), pelaksanaan peraturan itu justru akan menimbulkan permasalahan baru
Seorang pemimpin dapat dilihat dari kemampuannya mewujudkan cita-cita kelompok, kemampuannya untuk berkomunikasi dengan lingkungan juga kemampuan menangkap dan menjabarkan kebudayan yang melingkupi kehidupannya. Pemimpin merupakan figur multidimensi, dimana ia hidup sebagai pribadi, anggota masyarakat sekaligus ketua kelompok. Ia selalu berkepentingan dengan keadaan dan kejadian dalam lingkungannya.
Thomas Aquinas mengatakan bahwa seorang penguasa (pemimpin) negara mempunyai kewajiban terhadap rakyat yang dikuasainya. Tugas penguasa negara yang utama adalah mengusahakan kesejahteraan dan kebajikan hidup bersama. Untuk itu pengusa negara dituntut untuk memungkinkan rakyat memenuhi kebutuhan materialnya, diantaranya kebutuhan sandang pangan. (Ahmad Suhelmi, 2001:100)
Alfred Mc. Lunglee seperti yang dikutip oleh Jarmono (1983), merumuskan pengertian kepemimpinan, bahwa seorang pemimpin ialah seorang yang memiliki status kepemimpinan, suatu posisi penguasaan atau pengendalian yang membudaya di dalam kelompok masyarakat. Menjadi simbol suatu gerakan yang memahami dengan benar akan dirinya sendiri secara internal dan eksternal yang mempunyai peranan sebagai juru bicara kelompoknya. Memiliki sedikit pengikut atau tidak mempunyai pengikut secara langsung, tetapi yang meletakkan jalan dikemudian hari akan dilalui atau diikuti orang lain. 

Konsep Kepemimpinan Ideal Ala Semar
1. Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ilmu politik, semar dapat dijadikan sebuah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yaitu Manunggaling kawula-Gusti (kesatuan hamba-Raja). Semar diantara punakawan adalah guru, sesepuh dan pemimpin mereka. Dalam hubungannya dengan Arjuna salah satu dari Pandhawa, semar juga abdi (pelayan). Pelayan disini dapat disamakan dengan ‘pembantu' tetapi bantuan yang diberikan semar lebih bersifat abstrak. Bantuan abstrak yang diberikan semar adalah berupa ajaran. Arjuna dan Semar bersama-sama melambangkan (satuan) yang berupa ‘manusia', Arjuna sebagai pribadi sedangkan semar sebagai pikiran dan kesadarannya. (Tuti Sumukti, 2005:93) Tidak dapat dipisahkannya antara Arjuna dan para punakawan terutama semar ini melembangkan konsep Jawa tentang manunggaling kawula-gusti . Bahwa seorang raja (gusti) dengan mengikuti hukum harus pasrah atau menyerahkan diri pada ajaran tersebut. Dengan cara ini raja dapat mengajar rakyatnya (kawula) dengan memberi contoh menurut hukum yang berlaku.
Selo Soemardjan, yang dikutip oleh Tuti Sumukti (2005: 93-94) menerjemahkan mengenai salah satu cerita dalam lakon wayang yang berjudul Wahyu Tejamaya :
Meskipun raja memegang kekuasaan tertinggi atas rakyatnya, dia harus selalu ingat bahwa dia satu-satunya penghubung, yang sangat berpengaruh diantara kerajaannnya dan dunia (kekuatan) gaib. Dia tidak dapat lepas dari salah satu dari mereka, dan tidak bisa berselisih dengan mereka juga. Nama yang dipakai oleh Sultan Yogyakarta yang pertama mencerminkan kewajiban yang disadari karena kedudukannya yang penting itu. Sebagai pangeran , dia diberi gelar “ Mangkubumi ”, yang artinya memangku dunia ini. Tetapi sebagai sultan atau raja, dia memakai gelar Hamengkubuwono , orang yang melindungi alam semesta. Nama ini memberi tanda kewajiban raja yang utama, yaitu menyatukan kerajaannya dengan alam semesta dengan perantaraan dirinya. Dengan tekanan pada kewajiban utama ini, pertimbangan terpenting kenegaraan ada pada tercapainya persatuan antara kawula atau rakyat dan rajanya yang disebut manunggaling kawula-gusti . Dalam aspek mistiknya, konsep ini bermakna persatuan antara alam gaib dan manusia dan juga persatuan antara manusia dan penciptanya. Konsep persatuan yang harus dicapai dan merupakan kewajiban utama raja ini, disertai dengan adanya nilai-nilai sosial yang diikuti para kawula . Tujuan utama dalam hidup para kawula adalah tercapainya persatuan tersebut diatas. Pada tingkat perseorangan, sesorang dapat bersatu dengan kekuatan alam gaib dengan menyerahkan diri atau pasrah pada ajaran seorang guru, tetapi untuk pemerintahan (kerajaan) dan masyarakat seluruhnya, satu-satunya perantara adalah raja.
Seorang pemimpin sebesar bangsa Indonesia seharusnya dapat memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, kepentingan hukum negara dan kepentingan objek hukum. Hukum-hukum negara yang baik belum tentu berakibat baik, jika yang dari atas itu tidak disesuaikan dengan kepentingan dan kondisi rakyat, seperti dalam ajaran manunggaling kawula-gusti .
Semar menghormati rakyat jelata lebih dari menghormati para dewa pemimpin. Badan, karakter dan kualitasnya adalah tingkat tinggi, tetapi perwujudannya sangat merakyat. Semar mudah menangis ketika melihat penderitaan manusia yang di abdi nya, itulah sebabnya wayang semar matanya selalu berair. Semar lebih mampu menangisi orang lain daripada menangisi dirinya sendiri. Semar sudah tidak peduli dan tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi hanya memikirkan penderitaan orang lain. Semar sebagai keturunan dewa seharusnya menguasai ‘dunia atas' dan menguasi segalanya, tetapi ia memilih hanya menjadi abdi, tidak kaya dan tidak berkuasa.
Cerminan seorang pemimpin yang baik melihat yang dipimpinnya tidak dari atas singgasana yang terpisah, tetapi melihat dari sudut pandang rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin sejati itu menurut filsafat semar adalah bersifat paradoks. Seorang pemimpin adalah seorang majikan sekaligus pelayan, kaya tetapi tidak terikat dengan kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan yang salah. Ajaran tua tentang kekuasaan politik bersumber dari Hastabrata dan dimitoskan dalam diri semar. 

2. Pengaruh Konsep Kepemimpinan Semar dalam Kehidupan Masyarakat
Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Islam di Jawa.
Figure punakawan khususnya semar dapat dijadikan sebagai figur pemimpin yang sejati dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan pengertian punakawan. Punakawan secara lahiriah adalah sebagai symbol atau suatu pola terstruktur dari ‘pembantu pimpinan' yang sangat ideal. Kata punakawan menurut pedalangan berasal dari kata pono , yang artinya cerdik, cermat dalam pengamatan dan kata kawan = teman. Punakawan berarti teman atau pamong yang sangat cerdik, dapat dipercaya serta mempunyai pandangan yang luas dan pengamatan yang tajam serta cermat. Punakawan itu adalah abdi (bukan pelayan). Abdi itu hendaknya memiliki watak bijaksana, dapat dipercaya, jujur, panjang nalar dan tenang serta berani menghadapi segala situasi dan perasaan, baik yang sederhana maupun yang rumit.
Kehadiran semar dalam kehidupan nyata ini sering ditunggu-tunggu mengingat kondisi negara saat ini yang semakin kacau, kesengsaran dan penindasan oleh kaum kuat terhadap yang lemah semakin merajalela, moral dan etika tidak lagi diindahkan, para pemimpin yang hanya memikirkan kekayaan pribadi tanpa peduli dengan keadaan rakyatnya yang semakin tertindas dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Sebagai simbol kearifan dalam dunia wayang, semar adalah dewa yang menyamar sebagai orang kecil untuk mengembalikan perdamaian saat Negara dalam keadaan gawat. Nampaknya hal ini menjadikan banyak masyarakat atau segelintir orang yang masih peduli dengan kelangsungan hidup negara ini mendambakan sosok semar yang menjelma dalam kehidupan real saat ini, yang mampu menyelamatkan bangsa dari berbagai krisis multidimensi yang sedang melanda bangsa Indonesia. Terlebih lagi dalam agama Islam juga diajarkan bahwa akan ada seorang Al-Mahdi yang diturunkan Tuhan sebagai sang pembebas. 

KESIMPULAN
Figur pewayangan yang selalu dijadikan panutan, semar yang memiliki kelebihan-kelebihan tokoh punakawan yang menjadi dewa penyelamat bagi kekacauan sebuah Negara. Penjelmaan dari seorang Batara yang mau menjadi abdi atau pembantu dari para Raja dan Ksatria.
Pertunjukan wayang kulit telah menjadi salah satu wahana terpenting untuk menyampaikan berita dan ajaran yang bersifat kebudayaan kepada masyarakat Jawa khususnya. Melalui cara ini mereka belajar membedakan nilai-nilai positif dan negatif. Dalam cerita wayang, sosok semar mencerminkan tingkah laku yang terpuji dalam menyelesaikan msalah lingkungan yang mencakup pertimbangan kebudayaan. Perbuatan semar yang dalam pembahasan ini mengenai bagaimana seorang pemimpin seharusnya bertindak menunjukkan adanya bimbingan berdasarkan konsep-konsep dan kepercayaan orang Jawa, yang membawa kearah dan tujuan yang rasional. Putusan semar dapat diterima oleh semua pihak.
Di jaman yang menurut Ronggowarsito adalah jaman edan ini, terasa relevan kini, ketika perilaku menyimpang menjadi jalan legal untuk memperoleh kekuasaan dan meraih kekayaan, sementara banyak rakyat kecil yang merasa tertindas dengan keadaan yang semakin tidak menentu, harga-harga barang kebutuhan menjadi mahal sementara perbaikan nasib yang dijanjikan para pemimpin tak kunjung terwujud. Dunia pewayangan melukiskan situasi tersebut sebagai penanda akan hadirnya semar, seorang dewa yang bertugas sebagai penyelamat jaman.
Semar memang ada dalam dunia mitologi, tapi yang penting bagaimana mitos itu menjadi kesadaran budaya dan politik sebagai referensi seluruh dinamika kehidupan sebuah bangsa. Meskipun Negara ini seolah membutuhkan kehadiran seorang semar yang bisa menyelamatkan negara dari keterpurukan yang berkepanjangan, akan tetapi para pemimpin dan rakyat tidak hanya berpangku tangan dan berdiam diri saja menanti kehadiran semar dalam kehidupan nyata tapi hendaknya berusaha memperbaiki diri dengan kembali kepada ajaran agama dan hukum serta norma yang berlaku di masyarakat dengan diawali dari diri pribadi masing-masing. 

Salah satu ajaran hidup dari Kaki Semar:

I. Gusti Kang Murbeng Dumadi
Masyarkat Jawa sudah mengenal suatu kekuatan yang maha dengan Nama Gusti Kang Murbeng Dumadi jauh sebelum agama masuk ke tanah Jawa dan sampai ke tradisi saat ini yang dikenal dengan Kejawen yang merupakan “Tatanan Paugeraning Urip” atau Tatanan berdasarkan dengan Budi Perkerti Luhur.
Keyakinan dalam masyarakat mengenai konsep Ketuhanan adalah berdasarkan sesuatu yang Riil atau “Kesunyatan” yang kemudian di realisasikan dalam peri kehidupan sehari hari dan aturan positip agar masyarakat Jawa dapat hidup dengan baik dan bertanggung jawab.
Mengenai Sang Murbeng Dumadi, Kaki Semar mengatakan “Gusti Kang Murbeng Dumadi ing ngendi papan tetep siji, amergane thukule kepercayaan lan agomo soko kahanan,jaman,bongso lan budoyo kang bedo-bedo. Kang Murbeng Dumadi iso maujud opo wae ananging mewujudan iku dede Gusti Kang Murbeng Dumadi” atau dengan kata lain “ Tuhan Yang Maha Esa itu di sembah di junjung oleh semua manusia tanpa kecuali.oelh semua agama dan kepercayaan.Sejatinya Tuhan Yang Maha Esa itu Satu dan tak ada yang Lain. Yang membedakanya hanya cara menyembaah dan memujanya dimana hal tersebut terjadi karena munculnya agama dan kebudayaan dari jaman, waktu atau bangsa yang berbeda beda…”

Tiga hal yang mendasari Masyarakat Jawa mengenai Konsep Ketuhanan yaitu :
1. Kita Bisa Hidup karena ada yang meghidupkan, yang memberi hidup dan menghidupkan kita adalah Gusti Kang Murbeng Dumadi atau Tuhan Yang Maha Esa.

2. Hendaknya dalam hidup ini kita berpegang pada “Rasa” yaitu dikenal dengan “Tepo seliro” artinya bila kita meraa sakit di cubit maka hendaklah jangan mencubit orang lain.

3. Dalam kehidupan ini jangan suka memaksakan kehendak kepada orang lain “Ojo Seneng Mekso” seperti apa bila kita memiliki suatupakaian yang sangat cocok dengan kita, belum tentu baju itu akan sangat cocok dengan orang lain.

Kaki Semar memberikan piwulangnya mengenai konsep dasar penghayatan Mahluk Kepada Khaliknya yaitu Manusia harus mengehathui Tujuh Sifat Kang Murbeng Dumadi.

1. Tuhan Itu Satu , Esa dan tak ada yang lain, dalam bahasa jawa di sebut “ Gusti Kang Murbeng Dumadi”
2. Tuhan itu bisa mewujud apa saja , tetapi pewujudan itu bukanlah Tuhan.”Ananging wewujudan iku dede Gusti “ yang artinya “ yang berwujud itu adalah Karya Allah.
3. Tuhan Itu ada dimana-mana.”Dadi Ojo Salah Panopo,Mulo nang ngendi papan uga ono Gusti “ maksudnya walau Tuhan ada dimana mana, Tuhan satu juga “Nang awakm ugo ono Gusti” maksudnya manusia itu dalam lingkupan Tuhan secara jiwa dan raga.Tuhan ada dalam dirinya tetapi manusia tak merasakanya dengan panca indra, hanya dapat di rasakan dengan “Roso” bahwa dia ada.”Ananging ojo sepisan pisan awakmu ngaku-aku Gusti”maksudnya manusia harus sadar jiwa dan raga ini hanyalah Karya Allah, walaupun DIA ada dalam Manusia tetapi jangan sekali kali manusia mengaku DIA.
4. Tuhan Itu Langgeng, Tuhan Itu Abadi.dari masal dahulu, sekarang, esok dan sampai seterusnya Tuhan, Gusti Kang Murbeng Dumadi tetaplah Tuhan dan tak akan berubah.
5. Tuhan Itu tidak Tidur “ Gusti Kang Murbeng Dumadi ora nyare” maksudnya Tuhan itu mengetahui segalanya dan semuanya, tak ada satupun kata hilaf dan lalai.
6. Tuhan itu Maha Pengasih, Tuhan Itu Maha Penyayang.maksudnya Tuhan itu maha adil tak membeda bedakan kepada mahluknya, siapa yang berusaha dia yang akan mendapatkan.
7. Tuhan Itu Esa dan Maha Kuasa, apa yang di putuskannya tak ada yang dapat menolaknya,

Dengan menyadari hal tersebut manusia di harapkan :

1. “Manungso urip ngunduh wohe pakertine dhewe dhewe” maksudnya manusia kaa menerima paa yang dia tanam, bila baik yang di tanam, maka yang baiklah akan dia terima.
2. Manusia hidup pada saat ini adalah hasil / proses dari hidup sebelumnya.atau”manungso urip tumimbal soko biyen,nek percoyo marang tumimbal” ada petuah yang mengatakan “ Apabila kamu hendak melihat hidupmu kelak, maka lihat lah hidupmu sekarang, bila hendak melihat hidupmu yang lalu, maka lihatlah hidupmu sekarang”
3. “Manungso urip nggowo apese dhewe dhewe” maksudnya agar kita menghilangkan sifat iri,dengki,tamak, sombong sebab saat mati tak ada sifat duniawi tersebut dibawa dan mengntungkan kita.
4. Manusia tak akan mengerti Rahasia Tuhan, “Ati lan pikiran manungso ora bakal iso mangerteni kabeh rencananing Gusti Kang Murbeng Dumadi:”maka Manusia hiduplah “sak madyo” dan tak perlu “nggege mongso”.ada petuha mengatakan “ Hiduplah dengan usaha, tapi janganlah dengan harapan, karena bila gagal maka yang merasakan diri kita juga”

Maka dalam hal ini Kaki semar menganjurkan Manusia memohon dan mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Esa dengan”Eling lan Percoyo,Sumarah lan seumeleh lan mituhu” kepada Tuhan Yang Maha Esa.

1. Sumarah : Berserah, Pasrah, Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan sumarah ,manusia di harapkan percaya dan yakin akan kasih saying dan kekuasaan Gusti Kang Murbeng Dumadi, Bhawa DIA lah yang mengatur dan aka memebrikan kebaikan dalam kehidupan kita. Keyakinan bahwa apabila kita menghadapai gelombang kehidupan maka Allah akan memebrikan jalan keluar yang terbaik bagi kita.

2. Sumeleh : artinya Patuh dan Bersandar kepada Allah Yang Maha Esa . Manusia sebagai hamba hanya lah berusaha dan keberhasilannya tergantung Kuasa Tuhan yang maha Esa, maka dengan sumeleh ni manusia di harapkan tak mudah putus asa dan teguh dalam usahanya .

3. Mituhu : artinya patuh taat dan disiplin.

I. Tatanan Paugeraning Urip.

Petuah Kaki semar menenai Tatanan Paugeraning Urip bagi manusia dalam mengisi Kehidupanya di alam fana ini :

1. Eling Lan Bektimarang Gusti Kang Murbeng Dumadi : maksudnya Manusia yang sadar akan dirinya akan selalu mengingat dan memuja Tuhan Yang Maha Esa.dimana Allah yang Esa telah membrikan kesepantan bagi manusia untuk hidup dan berkarya di alam yang Indah ini.

2. “Percoyo lan Bekti Marang Utusane Gusti”: maksudnya Manusia sudah seharusnya menghormati dan mengikuti ajaran para Utusan Allah sesuai dengan ajarannya masing masing, dimana semua konsep para Utusan Allah tersebut adalah menganjurkan kebaikan.

3. “Setyo marang Khalifatullah utowo Penggede Negoto”: maksudnya sebaia manusia yang tingal di suatu wilayah,maka adalah wajar dan wajib untuk menghormati dan mengikuti semua peraturan yang di keluarka pemimpinnya yang baik dan bijaksana.

4. “Bekti marang Bhumi Nusontoro” maksudnya sebagai manusia yang tinggal dan hidup di bumi nusantara ini wajib dan wajar unuk merawat dan memperlaukan bumi ini dengan baik, dimana bumi ini telah memberikan kemakmuran bagi penduduk yang mendiaminya.

5. “Bekti Marang Wong Tuwo” : maksudnya Manusia ini tidak dengan semerta merta ada di dunia ini, tetapi melalui perantara Ibu dan Bapaknya, maka hormatilah,mulyakanlah orang tua yang telah merawat kita .

6. “Bekti Marang sedulur Tuwo” : Maksudnya adalah menghormati saudara yang lebih tua dan lebih mengerti dari pada kita, baik dlama umur,pengetahuan maupun kemampuannya.

7. “Tresno marang kabeh kawulo Mudo” : maksudnya menyayangi kawulo yang lebih muda, memberikan bimbingan dan menularkan pengalaman dan pengetahuan kepada yang muda, dengan harapan yang muda ini akan dapat menjadi generasi pengganti yang tangguh dan bertanggung jawab.

8. “Tresno marang sepepadaning manungso” : maksudnya semua manusia itu sama, hanya membedakan warna kulit dan dan budaya saja. Maka hormatila sesame manusia dimana mereka memiliki harka dan martabat yang sama dengan manusia lainya.
9. “Tresno marang sepepadaning Urip” : maksudnya semua yang di ciptakan Allah adalah mahluk yang ada karena kehendak Allah yang Kuasa.memiliki fungsi masing masing.dengan menghormati semua ciptaan Allah maka kita telah menghargai dan menghormati kepada PENCIPTANYA.

10. “Hormat marang kabeh agomo “ : maksudnya hormatilah semua agama atau aliran dan para penganutnya.
11. “Percoyo marang Hukum Alam” : maksudnya selain Allah menurunkan kehidupan,Allah juga menurunkan Hukum Alam dan menjadi hokum sebab akibat, siapa yang menanam maka dia yang menuai,

12. “Percoyo marang kepribaden dhewe tan owah gingsir” : maksudnya manusia ini rapuh dan hatinya berubah ubah, maka hendaklah menyadarinya dan dapat menepatkan diri di hadapan Allah, agar selalu mendapat lindungan dan rahmat Nya dalam menjalani Hiudp dan kehidupan ini.

Tatanan Paugeraning Urip yang 12 di atas di ringkas menjadi tiga konsep:

1. Hubungan Manusia dengan Allah/Tuhan Yang Maha Esa
2. Hubungan Manusia dengan sesama Manusia
3. Hubungan Manusia dengan Alam Semesta.

Kesemua tatanan di tersebut di atas adalah kaitannya dengan konsep “tatanan Menembah”

1. Sangkan Paraning Dumadi : yaitu Sangkaning Dumadi dan Paraning Dumadi dimana maksudnya adalah agar manusia mengetahui dari mana dia berasal dan mau kemana dia akan kembali.

2. Manunggaling Kawulo lan Gusti : yaitu manunggaling kawulo dengan Gusti adalah dengan melakukan smeua perintahnya, melakukan dan menuruti peraturan peraturan yang di perintakan dengan sbeaik baiknya.

3. Kasedan Jati : yaitu dimana posisi kesadaran manusia sampai kepada tataran sangat menyadari dan telah melakukan atau menjalani kehidupan yang di sebutkan di atas sehingga semua telah menuruti kehendak Allah Tuhan Yang Maha Esa. Dengan istilah “Hidup sekali dan mati pun sekali “

II. Tuntunan Sikap terhadap Paugeraning Urip

Kaki Semar menuntunkan sikap terhadapt Paugeraning Urip adalah dengan Kata sesanti atau Petuah “OJO DUMEH,ELING LAN WASPODO”karena :

1. “Ojo dumeh, Eling lan waspodo” adalah bekal manusia menghadapi ujian dan perjuangan hidup dan menjadi senjata ampuh untuk menjadi kesatria utama dalam menaklukan dirinyasendiri dan mewujudkan “Roso setyo lan mituhu dumateng Gusti” serta untuk “ Hamemayu Hayuning Bawono”.

2. “Ojo dumeh, Eling lan Waspodo” adalah sebagai penyeimbang, sehingga pada kondisi maupun situasi apapun manusia akan selamat”Rahayu”, tidak mudah panic dalam setiap pemecahan masalah yang di hadapinya.

3. “ojo dumeh, Eling lan Waspodo”sebagai sarana pencegahan terhadap kecerobohan dan kelalaian yang sering manusia lakukan, karena telah menyadari dan memahami serta mentaati semua kaidah Agama, Budi pekerti, maupun aturan aturan manusia lainnya.

OJO DUMEH yang maksudnya “Jangan Mentang Mentang” adalah suatuperingatan agar manusia tidak larut dengan pa ayang di miliki atau di jalaninya, sehingga cendrung menjalani keputusan hidup yang negatip seperti :

1. Mentang mentang kaya, maka kita menjadi sombong dan merasa semua dapat di beli dengan uang,
2. Mentang menatng Miskin, maka kita menjadi putus asa dan mengakibatkan kita mengumpat sana sini kepada yang kaya..


Siapa yang “mentang mentang” maka suatau saat akan menjadi sebagaimana dalma pribahasa Jawa :
1. Sopo sing Dumeh bakal keweleh
2. Sopo sing adigang bakal keplanggrang
3. Sopo sing Adigung bakal kecemplung
4. Sopo sing Adiguno bakal ciloko
5. Sopo sing Becik bakal ketitik
6. Sopo sing salah bakal seleh
7. Sopo sing Temen bakal Tinemu

Eling Lan Waspodo maksudnya Ingat dan Waspada.

Ingat yang dijalani adalah inget dalam kaitan Menembah kepada Tuhan, ingat akan karunianya, Rahmanya,Nikmatnya , selalu ingat akan kesalahan kita kepada Tuhan, pelanggaran yang kita lakukan dan meminta ampunan kepada Nya. Dengan demikian akan lahirlah Budi perkerti yang luhur sehingga Eling ini akan melahirkan kepedulain kepada manusia dan lingkungan sekitarnya.

Waspodo/Waspada adalah bentuk ke hati-hatian manusia dalam menjalankan hidup, teliti dan mengakibatkan kita menjadi Wara dalam memilih dalam keputusan kita sehari hari. Berhati-hati dalam semua sikap dan tingkah laku. Mana yang merupakan perintah dan mana yang merupakan larangan akan menjadi terang dan jelas bagi kita.sehinga kta akan selamat dalam perjalanan hidup ini.

Ojo Dumeh,Eling lan Waspodo merupakan satu kesatuan yang dipahami secara utuh, sehingga manusia di harapkan menjadi Pasrah dan Yakin Kepada Kekuasaan Tuhan serta menjadi bijaksana,sederhana dan hati hati. Manusia menjadi “Bisa Merasa.” Bukan ”Merasa Bisa.”

Dengan “Ojo Dumeh,Eling lan Waspodo”, maka dalam bahasa Jawa disebutkan ..
1. Ono Luwih,Luwih soko Ono
2. Kang Kebak,Luwih dening kebak
3. Kang suwung,Luwih dening Suwung
4. Kang Pinter, Luwih dening Pinter
5. Kang Sugih, Luwih dening Sugih..

kita sebagai manusia bisa meniru lelakuning hidup dari semar yaitu ' 
hong wilaheng jati awiguno mastuhu bawono langgeng untuk para pengikut kaki semar: 
1. Jika orang bikin kita susah, anggaplah itu adalah tumpukan rejeki. 
2. Mulai hari ini, belajarlah setiap hari menyenangkan orang lain. 
3. Jika kamu merasa pahit dalam hidupmu dengan suatu tujuan, itulah Bahagia. 
4. Lari dan berlarilah yang cepat untuk mengejar hari esok. 
5. Setiap hari kamu sudah harus merasa puas dengan apa yang kamu miliki saat ini. 
6. Setiap kali kalau ada orang memberi kamu satu, kamu harus mengembalikannya sepuluh kali lipat 
7. Nilailah kebaikan orang lain terhadap kamu, tetapi hapuskanlah semua jasa yang pernah kamu berikan kepada orang lain. 
8. Dalam keadaan benar kamu di fitnah, di persalahkan, di hukum maka kamu akan mendapatkan pahala. 
9. Dalam keadaan salah kamu di puji dan di benarkan, itu merupakan hukuman. 
10. Orang yang benar kita bela, tetapi yang salah kita beri nasehat. 
11. Jika perbuatan kamu benar, kamu di fitnah dan di persalahkan, tetapi kamu menerimanya, maka akan datang rezeki kepadamu yang berlimpah-limpah. 
12. Jangan selalu melihat/mengecam kesalahan orang lain, tetapi selalu melihat diri sendiri itulah kebenaran. 
13. Orang yang baik di ajak bergaul, tetapi orang yang jahat di kasihani. 
14. Kalau wajahmu senyum, hati pasti senang, pasti kamu akan Aku terima. 
15. Dua orang saling mengakui kesalahan masing-masing, maka dua orang itu akan bersahabat sepanjang masa. 
16. Saling salah - menyalahkan, maka akan mengakibatkan putus hubungan. 
17. Kalau kamu rela dan tulus menolong orang yang dalam keadaan susah, maka jangan sampai di ketahui bahwa kamu sebagai penolongnya. 
18. Jangan membicarakan sedikitpun kejelekan orang di belakangnya, sebab kamu akan di nilai jelek oleh si pendengar. 
19. Kalau kamu mengetahui orang itu berbuat salah, maka tegurlah langsung dengan kata-kata yang lemah lembu hingga orang itu menjadi lebih insaf. 
rahayu rahayu rahayu


rujukan

jurnalmahasiswa.filsafat.ugm.ac.id/nus-11.htm
http://aindra.blogspot.com/2007/12/konsep-spritual-kaki-semar.html